Lihat ke Halaman Asli

Amidi

TERVERIFIKASI

bidang Ekonomi

Ternyata Tradisi Bisa Mengalahkan Rasionalitas Ekonomi!

Diperbarui: 17 Mei 2024   08:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Oleh Amidi

 

Idealnyaa konsumen membeli suatu produk dan atau memenuhi berbagai kebutuhannya dilandasi dengan pertimbangan ekonomi, dan atau  rasionalitas ekonomi. Namun, kenyataannya, konsumen membeli suatu produk dan atau memenuhi berbagai kebutuhannya justru didorong oleh faktor psikologis yang diperkuat  faktor tradisi.


Misalnya pada bulan Ramadhan, konsumen berbelanja "terlihat kental" karena dorongan faktor psikologis  yang diperkuat faktor  tradisi.  Fenomena emak-emak "menyerbu" pasar  terus berlanjut  sampai menjelang lebaran,    tidak dapat dijelaskan  dengan menggunakan pendekatan faktor ekonomi semata,  karena  faktor psikologis yang diperkuat faktor tradisi lebih menonjol.

 

Idealnya,  konsumen berbelanja apabila mereka benar-benar mempunyai pendapatan saat ini. Namun, kebiasaan berbelanja sepanjang bulan Ramadhan sampai menjelang lebaran  tidak demikian, konsumen didorong oleh faktor  psikologis yang diperkuat faktor tradisi sangat kental. Jika tidak berbelanja berlebihan ada yang terasa kurang. Uniknya lagi, jika kebiasaan berbelanja tersebut tidak dilakukan, ada semacam beban moril ,terhadap diri dan lingkungannya serta ada rasa tidak menjaga tradisi yang sudah turun temurun (lihat Amidi dalam Sriwijaya Post, 11 September 2007).

Faktor psikologis yang diperkuat faktor tardisi  tercermin dari  beberapa daerah  dalam menyambut lebaran  "harus" menyediakan makanan khas daerah mereka. Di negeri ini, ada banyak makanan khas lebaran yang disuguhkan kepada tamu dan kerabat   saat bersilaturrahmi pada  hari lebaran.  Salah satu televisi swasta pernah mensitir   beberapa makanan khas daerah yang akan disuguhkan kepada kerabat dan para tamu yang bersilaturrahmi; gulai nagka dari medan, bebek gulai kurma dari Aceh, rendang dari Padang, ayam bumbu anam dari Palembang, lemang dari jambi,  semur daging dari Jakarta,  soto banjar dari Banjarmasin, ayam Gagape dari Makasar,   dan ayam woku dari Manado. (Liputan6.com, 15 Mei 2021).


Tradisi dalam Ritual Keagamaan.

Tidak hanya fenomena itu saja, masih ada lagi fenomena lain yang menggambarkan bahwa konsumen membeli suatu produk dan atau memenuhi berbagai kebutuhannya lebih menonjolkan faktor psikolgis diperkuat faktor tradisi tersebut, termasuk dalam ritual keagamaan.

Pada saat ini, ada sebagian besar  masyarakat yang tidak bisa mengikis tradisi yang sudah melekat pada pelaksanaan ritual keagamaan. Sehingga antara kegiatan ritual keagmaan dengan tradisi sudah tidak jelas lagi. Misalnya pada saat ada anggota keluarga "meninggal dunia", mereka harus menggelar  suatu ritual keagamaan yang menurut mereka tidak bisa ditinggalkan. Ada istilah satu hari, dua hari, tiga hari, ada tujuh hari, ada istilah memperingati 40 hari dan seterusnya atas meninggalnya si pulan dan seterusnya.

Biasanya, ritual keagamaan yang sudah  mejadi tradisi tersebut, tidak hanya menguras tenaga tetapi akan membutuhkan cuan/uang untuk menyertai ritual keagamaan tersebut. Misalnya setelah mereka selesai melaksanakan ritual keagamaan tersebut, ada makan-makan-nya atau makan-minum nya. Nah, barang tentu mereka yang mempunyai hajatan akan mengeluarkan uang untuk menyediakan makan-makan dan atau makan-minum tersebut.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline