Oleh Amidi
Setidaknya ada dua tradisi yang tidak bisa dihindarkan pada saat datangnya bulan Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri atau lebaran, yakni tradisi berbelanja yang berlebihan yang didorong rasa emosional, sehingga berbelanja cendrung irrasional, dan tradisi menggunakan Tunjangan Hari Hari Raya (THR) dan atau cuan untuk kebutuhan lebaran dan mudik pada momen lebaran.
Tradisi menghabiskan cuan (bersumber dari THR dan lainnya) yang dimiliki dalam memanfaatkan momentum lebaran, baik untuk kebutuhan lebaran sendiri, kebutuhan mudik maupun kebutuhan tamasya sepertinya sulit untuk dihindari/dihilangkan, mengapa?
Faktor Penyebab.
Ada beberapa faktor yang meneybabkan anak negeri ini menghabiskan cuan pada momen lebaran tersebut. Bila disimak, konsumsi untuk kebutuhan lebaran yang dipenuhi oleh kalangan anak negeri ini, cendrung dilandasi aspek psikologis mengabaikan aspek ekonomi. Jika berbelanja tidak berlebihan, rasa-nya kurang "seret", terlepas memang mempunyai uang atau dengan jalan utang, atau menggadaikan aset.
Sehingga berapa saja THR yang diterima dan berapa saja cuan yang dimiliki pada saat itu, cendrung dihabiskan. Terkadang barang-barang yang dibeli tersebut, jika berupa makanan, cendrung tidak dimakan semua bahkan sering "mubazir". Contoh sederhana, pada saat membeli ini dan itu menjelang berbuka puasa, pada saat berbupa tidak semua makanan/minuman yang dibeli tersebut dimakan alias "mubazir".
Begitu juga dengan THR, penggunaan THR yang diterima pekerja/buruh tidak hanya untuk diri mereka sendiri, tetapi digunakan juga untuk tanggungannnya, dan anggota keuarganya yang lain. Di negeri ini rata-rata pekerja/buruh memiliki 2-4 tanggungan. Sebenarnya tidak hanya THR digunakan mereka untuk memenuhi kebutuhan tanggunggannya, tetapi gaji/honor yang mereka terima bulanan pun mereka gunakan juga untuk memenuhi kebutuhan tanggungannya.
Mudik yang dimanfaatkan anak ngeri ini pada momen lebaran, sudah menjadi tratdisi, sehingga hampir sebagian besar pekerja/buruh akan memanfaatkan momentum lemabaran untuk mudik. Mudik yang dilakukan mereka, mulai dari mudik antar lintas pulau, antara lintas Provinsi, antar lintas kota, dan dari kota ke desa. Dengan demikian, peluang pekerja/buruh untuk mudik terbuka lebar.
Momen mudik, pada sebagian besar anak negeri ini, sepertinya lebih menonjolkan unsur "pamer" kekayaan, pamer kesuksesan mereka sebagai pekerja/buruh di Kota/di lokasi mereka bekerja, ketimbang memanfaatkan mudik untuk silaturrahmi.
Memang ada juga sebagian dari kalangan kita yang memanfaatkan mudik sebagai ajang silaturrahmi dengan sanak keluarga, handai tolan dan keuarga yang sudah lama tidak berjumpa/bertemu, karena jarak mereka berjauhan, ada yang nun jauh disana, karena bekerja, dan atau karena merantau.