Lihat ke Halaman Asli

Amidi

TERVERIFIKASI

bidang Ekonomi

Pada Saat Kapan "Produk Gratis" Masih Diminati Konsumen atau Pemilih?

Diperbarui: 28 Februari 2024   13:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ilustrasi giveaway. (iStock/Weedezign via parapuan.co)

Oleh Amidi

Produk yang diperoleh dengan cara "gratis", dapat dipastikan sebagian besar disukai anak negeri ini selaku konsumen (pemilih), baik itu produk bisnis maupun produk politik. Seperti: berobat gratis dan lainnya.

Untuk itu tidak heran, kalau calon kepala negara, calon kepala daerah, calon legeslatif, bahkan calon kepala desa pun berlomba-lomba menjual produk atau program "gratis" tersebut. Misalnya berobat gratis dan lainnya itu.

Di salah satu provinsi di negeri ini, pada tahun 2008, yang lalu ada salah satu calon kepala daerahnya menjual program "sekolah gratis dan berobat gratis", bahkan program ini menjadi produk unggulan calon kepala daerah tersebut, apalagi pada saat itu program ini terbilang masih langkah.

Begitu program ini di jual dan dipromosikan/dikampanyekan, sebagian besar konsumen (pemilih) menyambut baik bahkan antusias.

Singkat cerita, calon kepala daerah yang menjual produk gratis tersebut pada saat pemungutan suara memperoleh suara terbanyak, sehingga ia dinyatakan/disahkan oleh KPU sebagai pemenang.

Mengapa Produk Gratis Laris.

Bila dicermati, setidaknya ada beberapa faktor yang melatarbelakanginya, yakni faktor kemiskinan, faktor pendidikan konsumen (pemilih), dan faktor lainnya yang tidak semua disajikan disini.

Faktor kemiskinan, dominan sebagai pendorong konsumen (pemilih) menyukai produk gratis tersebut, terlebih untuk golongan kemiskinan mutlak atau yang memang berada dibawah garis kemiskinan (lihat macam kemiskinan dalam detik.com, 03 Januari 2022).

Mengapa? Karena mereka memang tidak dapat memenuhi kebutuhannya secara layak atas ragam kebutuhannya, termasuk berobat dan lainnya itu. Sekali lagi, produk gratis, itu laris manis dikalangan kelompok ini.

Faktor pendidikan, ada hubungannya dengan pendapatan dan pendapatan ada hubungannya dengan kemiskinan.

Jika pendidikan konsumen (pemilih) SMA ke atas, maka ada kecendrungan mereka akan memperoleh pendapatan yang lebih dibandingkan dengan mereka yang berpendikan SMA ke bawah, dengan pendapatan yang "lumayan" tersebut, mungkin mereka sudah tidak tergolong lagi ke dalam kemiskinan mutlak tersebut.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline