Oleh Amidi
Belum lenyap dari memori anak negeri ini, kasus Pemerintah Amerika Serikat menutup dan mengambil alih tiga bank yakni Silicon Valley Bank, Silvatage Bank dan Signature Bank. Adanya penutupan tiga bank tersebut ditanggapi oleh beberapa pengamat dan analis, tidak berdampak banyak bagi sektor keuangan atau perbankan di negeri ini.Namun, saya tetap menyarankan agar kita jangan terlena dan perlu mengedepankan faktor pengawasan dan kepercayaan. (lihat Amidi dalam Kompasiana.com, 27 maret 2023)
Kini anak negeri ini kembali disuguhi informasi Bank Asing hengkang dari negeri ini. Zafanya Aprilia mensinyalir bahwa Citibank, N.A. Indonesia (Citi Indoensia) telah resmi menutup bisnis consumer bankning setelah penjualan aset dan liabilitas kepada PT Bank UOB Indonesia rampung. Usai penjualan ini, Citi Indoneisa kedepannya akan fokus ke binsis corporate banking dan tetap akan menyalurkan kredit consumer secara tidak langsung. Berdasarkan strategi global Citigroup, mereka akan menetapkan hanya beberapa bisnis consumer dan retail di luar Amerika Utara yang akan tetap beroperasi di Hongkong, Singapura, Inggris dan Timur Tengah (cnbc Indonesia.com, 21 November 2023).
Kemudian pada bagian lain media mengungkap bahwa tidak sedikit bank BPR bangkrut atau tutup. Fenomena BPR tutup ini bukan terjadi pada tahun ini saja,namun sebelumnya sudah ada. Berdasarkan data Statistik Perbankan Indonesia milik Otoritas Jasa Keuangan, dalam kurun lima tahun yakni sejak 2019 hingga Agustus 2023, terjadi penurunan jumlah BPR di negeri ini. Sejak 2019 jumlah BPR mencapai puncaknya 1.545 unit. Namun, sejak saat itu, terjadi penurunan yang berkelanjutan, pada tahun 2020, jumlah BPR turun menjadi 1.506 saja dan pada tahun 2021 turun lagi menjadi 1.468 unit (lihat Arlina Laras, bisnis.com,21 November 2023).
Penelurusan Kebelakang.
Bermula dengan adanya paket kebijakan Oktober (Pakto 1988) yang memungkinkan bank akan menjamur, karena hanya bermodal Rp 10 miliar pemilik modal dapat mendirikan bank. Sehingga pada tahun 1988 terdapat 111 bank umum dan terus bertambah menjadi 240 bank pada tahun 1994. Akibat krisis moneter/ekonomi jumlah bank menyusut drastis menjadi 151 bank (databoks.katadata.co.id, 26 Maret 2019).
Singkat kata, pada saat itu, dunia perbankan di negeri ini porak poranda, akibat dari penutupan bank-bank tersebut pemerintah harus memberi bantuan untuk meredam "emosi" nasabah dengan bantuan yang dikenal dengan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), uang negara terkuras dan kebijakan ini sampai kini masih menyisahkan persoalan dalam belantika dunia perbankan di negeri ini.
Mengapa Bank Tutup?
Pada saat krisis moneter/ekonomi tersebut, inflasi melambung tinggu, nilai rupiah anjlok tajam, dan beberapa variabel ekonomi makro lainnya terganggu, sehingga menyebabkan perekonomian negeri ini pada saat itu benar-benar terpuruk. Bank "sepi", karena nasabah nyaris tidak ada yang memarkirkan dana-nya di bank, yang ada nasabah terus menarik uang-nya untuk memenuhi kebutuhan dan keperluan lainnya, sehingga bank kesulitan dana untuk memenuhi kewajiban jangka pendek-nya (likuiditas).
Singkat cerita, pada saat itu "kepercayaan" nasabah terhadap bank mulai berada pada titik nadir terendah, sehingga tidak lama terjadi penarikan/pengambilan uang di bank secara besar-besaran (rush), wajar kalau pada saat itu bank-bank tidak sedikit yang kesulitan likuiditas bahkan sampai menggiring bank colaps atau tutup.