Oleh Amidi
Negeri ini pernah mencapai kejayaannya yakni pada saat pertumbuhan ekonomi bertengger di atas angka 7 (tujuh) persen, hal tersebut terjadi sebelum krisis moneter melanda.
Namun, angka pertumbuhan ekonomi "menggembirakan" tersebut lenyap ditelan oleh beberapa persoalan yang melanda dan adanya dampak pandemi beberapa tahun yang lalu.
Kini pertumbuhan ekonomi hanya dapat bertengger di angka sekitar 5 (lima) saja bahkan sempat terkontraksi alias terjadi pertumbuhan minus. Syukur angka 5 (lima) persen tersebut masih bisa dipertahankan, walaupun terasa sulit untuk mendongkraknya kembali.
Untuk mengejar pertumbuhan ekonomi tersebut, ada beberapa langkah yang dapat dilakukan salah satunya mendorong investasi di negeri ini agar terus bertambah dan yang sudah ada agar tetap bertahan.
Akhir-akhir ini kegiatan investasi baik yang dilakukan pemerintah maupun swasta memang lagi "moncer" alias lagi sedang gencar-gencarnya. Dibangunnya jalan tol, pelabuhan, bandara, dan beberapa bentuk investasi lainnya.
Investasi yang kita buru tersebut ternyata tidak semudah membalik telapak tangan, perlu perjuangan, perlu promosi, perlu meyakinkan investor termasuklah perlunya menciptakan suatu kondisi yang kondusif, baik kondisi perekonomian sendiri maupun kondisi masyarakat yang akan menjadi objek/pengguna/pemanfaat dari pembangunan (investasi).
Anak negeri ini beberapa bulan ini disuguhkan dengan pemandangan dan fenomena suatu kegiatan investasi yang sedikit "mengusik", terutama bagi anak negeri ini yang sudah lama bermukim di Pulau Rempang Batam.
Investasi yang akan dilakoni oleh investor tersebut adalah pembangunan pabrik kaca, yang akan dilakukan oleh perusahaan milik Xinyi Group, mengalami hambatan.
Lahan yang akan dibebaskan untuk pembangunan pabrik kaca, perusahaan milik Xinyi Group tersebut, menimbulkan "kekisruhan", terkait dengan kepemilikan tanah/lahan anak negeri ini, dan atau ganti rugi kepada anak negeri ini yang selama ini telah bermukim di lokasi tersebut.