Hedonsime, akhir-kahir ini menjadi perbincangan hangat, terlebih dengan adanya kasus Mario anak Rafael selaku pejabat pada Direktorat Jendral Pajak (DJP) yang memamerkan kekayaan milik ayahnya tersebut. Hedonisme tidak berhenti begitu saja, persoalan yang satu ini terus berlanjut, media justru gencar memberitakannya, hedonisme dengan indikasi pamer kekayaan oleh istri pejabat, dan oleh pejabat itu sendiri yang mereka lakukan dengan tidak malu bahkan dengan bangganya mereka mempublis harta kekayaan yang dimilikinya.
Hedonisme merupakan ajaran atau pandangan bahwa kesenangan atau kenikmatan merupakan tujuan hidup. Terdapat tiga aliran pemikiran dalam hedonis yakni cyrenaics, epikureanisme, dan utilitarianisme. Kini hedonisme telah mengalami pergeseran. Di zaman modern ini, paham hedonisme sudah jauh berbeda dari paham etika hedonisme epicurus. Hedonisme saat ini disandingkan dengan makna kemewahan, gaya hidup berlebihan dan cendrung kepada prilaku konsumtif. (id.wikipedia.org)
Hedonisme ini sebetulnya sudah lama muncul. Hedonsime sudah ada sejak awal munculnya filsafat, atau saat manusia mulai berfilsafat pada tahun 433 Sebelum Masehi. Pandangan ini muncul ketika Socrates, salah satu filsuf paling terkenal mempertanyakan mengenai tujuan hidup manusia di dunia ini, pertanyaan tersebut akhirnya melahirkan pandangan hedonisme (cermati.com, 16 Desember 2022)
Bila kita simak, sebenarya dalam setiap diri individu terdapat bibit hedonsime, secara manusiawi sebenarnya sah-sah saja jika anak negeri ini menampilkan dirinya dengan optimal melalui penampilan berpakaian, berkendaraan dan atribut lainnya, selain agar mereka "pede" juga dapat menjaga "performent", apalagi bila anak negeri ini merupakan seoarang publik pigur dan atau pejabat publik.
Bila ia seorang pejabat dengan penampilan yang dimaksud, ia akan terlihat gagah, berwibawa dan percaya diri serta dapat menunjukkan eksistensi diri-nya dan unit usaha atau institusi tempat ia menjabat.
Namun, yang menjadi persoalan itu, bila dilakukan berlebihan dan cendrung pamer (hedonisme), maka akan merugikan diri sendiri dan orang lain. Orang yang menerapkan gaya hidup hedonsime cendrung jadi pemalas, karena orang tersebut hanya akan bersenang-senang dan suka membuang waktu. Kemudian orang dengan penampilan gaya hidup hedonisme, menciptakan "kecemburuan sosial" dan atau mendorong orang lain kepingin seperti mereka, sehingga tidak jarang terjadi tindakan "mencari uang dengan jalan pintas" (baca: korupsi/maling/dan sejenisnya).
Hedonisme VS Korupsi.
Bila kita cermati, kedua variabel ini mempunyai hubungan yang "simultan", orang korupsi akan terdorong untuk hedonisme, sebailknya hedonisme pun akan mendorong orang korupsi. Memang ada beberapa faktor yang mendorong orang korupsi, termasuk "dorongan suatu sistem" dan adanya "kelemahan suatu sistem".
Korupsi tidak hanya merugikan negara, tetapi lebih jauh korupsi akan menjatuhkan wiibawa pemerintah dan kredebilitas suatu bangsa. Secara ekonomi, korupsi akan menekan pertumbuhan ekonomi, menurunkan investasi, dan pada akhirnya akan meningkatkan angka kemiskinan. Selain itu korupsi juga ternyata dapat menurunkan tingkat kebahagiaan masyarakat suatu negara. (cic.kpk.go.id).
Entah, apa mau di kata, ditengah khikmatnya anak negeri ini menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadhan, ternyata masih juga muncul kasus korupsi. Kompas.com, 15 April 2023, mensitir bahwa beberapa hari lalu KPK telah menagkap Wali Kota Bandung menyusul Bupati Meranti, penangkapan koruptor di bulan Ramadhan tidak hanya terjadi tahun ini saja, tetapi terjadi juga pada tahun-tahun sebelumnya.
Cindy Mutia Annur, menjelaskan bahwa dalam Laporan Transparancy Internasional terbaru menunjukkan, Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia tercatat sebesar 34 poin dari skala 0-100 pada tahun 2022. Angka ini menurun 4 poin dari tahun sebelumnya, sehingga berdampak turunnya IPK Indonesia secara global. Tercatat IPK Indonesia tahun 2022 menempati peringkat ke 110 padahal pada tahun sebelumnya berada pada peringkat ke 96. (Databooks.katadata.co.id, 01 Pebruari 2023).