Bagiku, sanggar adalah tempat bermain kedua setelah sekolah. Bahkan ketika sekolah libur, tempat mainku ya di sanggar. Tempat yang asyik dan tak ada duanya. Selain itu, letaknya juga di pusat kota. Dekat dengan alun-alun.
Awal mula aku singgah di sanggar, karena ingin melatih bakat di rampak bedug. Diajak oleh teman juga sih. Setelah semakin lama, diberi kepercayaan oleh pemilik sanggar untuk dikirim atau mewakili sanggar sebagai pelatih. Sebab, permintaan untuk melatih rampak bedug dari sekolah-sekolah lain cukup banyak dan tidak ter-hendel oleh sanggar.
____
Sekolahku terletak di pinggir kota, Asalku dari kampung. Semuanya serba sederhana dan apa adanya. Namaku Heru Supriyadi. Sedangkan gadis yang ku taksir berasal dari sekolah yang berbeda. Namanya Nadia Salsabila. Panggilannya Nida kadang juga Nadia. Perjumpaan kami bermula di sanggar.
Awal kisah ini tentu berawal dari kebersamaan, ketika sama-sama menggali ilmu di Sanggar. Karena sering bersama, maka benih-benih itu muncul. Tapi, rasa itu tetap kupendam. Bukan karena aku tidak bisa, hanya saja aku tidak mau merusak suasana pertemanan kami yang kala itu baru terjalin.
Jujur, awal mulanya aku hanya sebatas kagum. Tetapi, ketika mengenalnya lebih dekat, ia peribadi yang baik, jujur, peduli dan cukup hangat. Dia perempun yang terbaik di mataku saat itu. Terlepas dari kekurangan yang ada pada dirinya. Bahkan, karena kekurangan inilah yang akhirnya menjadi kisah penuh drama, greget, galau dan campur aduk.
Bagaikan gunung es yang mencair dan siap mengancam pinguin punah. Seperti itulah kagetnya aku ketika mengetahui Nadia memiliki penyakit yang namanya saja baru kudengar seumur hidupku.
Tadinya sih ia acuh akan penyakitnya. Akhirnya dengan perlahan kubujuk ia mau ikutan terapi. Aku bela-belain ngikutin maunya setiap selesai terapi. Minta cokelat dikasih, minta dianterin pulang dianterin. Targetku, supaya Nadia sembuh, sama seperti wanita pada umumnya. Tak ada embel-embel yang lain. Alhamdulillah atas izin Allah dan ikhtiar maksimal, Nadia pun sembuh.
###
Suatu waktu, Nadia minta ditemani untuk membeli kue ulang tahun. Ternyata kue yang dicari di kota kami tidak ada. Waktu itu sudah petang. Lalu, meski malam-malam dan dingin, dengan suka rela Nadia tetap kutemani mencari kue ultah ke kota lain.
Di perjalanan, tanpa ku sangka Nadia mengungkapkan sesuatu yang tak terduga.
"Her, kamu suka yang samaku..." Tanyanya datar.
Mendengar ucapan tersebut, aku hanya bisa diam. Bibir ini tak mampu mengungkapkan sepatah katapun. Bibir ini tiba2 menjadi kelu. Ingin sebenarnya aku mengatakan bahwa aku bukan hanya menyukainya detik itu juga, tapi aku tidak berani mengatakannya, lagipula aku fokus ke motor yang kukendarai.