Pertama, perlu ditegaskan bahwa sejak di ketok palu pada pengesahan draf tatib yang dilaporkan Pansus Tatib pada Sidang Paripurna (Sipur) DPD tanggal 15 Januari 2016 maka bukan lagi draf, tapi sudah merupakan putusan yang harus ditandatangani Pimpinan DPD sebagai suatu keharusan administratif.
Sebelum Sipur tanggal 17 Maret 2016 telah diinformasikan pada saya beredarnya pengumpulan tandatangan apa yang mereka sebut “Mosi Tidak Percaya” kepada Pimpinan DPD, yang nantinya akan disampaikan kepada Badan Kehormatan (BK). Bahkan kepada saya pun disodorkan untuk ikut bertandatangan dan tanpa dibaca saya langsung menolak, karena sebelumnya sudah mendengar cerita tentang maksud dan tujuannya yang pasti akan menjadi “PR” bagi BK yang tidak mudah menyelesaikannya.
Dalam pada itu, saya juga memikirkan bahwa jika “Mosi Tidak Percaya” itu nantinya disebarluaskan maka Pimpinan DPD akan kehilangan kepercayaan dan secara moral legitimasi politiknya dipertanyakan. Bukankah modal utama pemimpin itu adalah kepercayaan? Dan untuk pemimpin parlemen ialah kepercayaan publik.
Karena itu, menjelang saya naik mimbar yang mendapatkan giliran terakhir saya berpikir keras. Kemudian muncul intuisi politik saya untuk menawarkan suatu kesempatan terhormat yang disaksikan hadirin sebelum terus beredarnya “Mosi Tidak Percaya” kepada Pimpinan DPD, yaitu kesediaan untuk menandatangani Tatib Keputusan Sidang Paripurna 15 Januari 2016.
Sebelum saya beranjak dari mimbar untuk menyodorkan/menawarkan (bukan memaksakan) kepada Pimpinan DPD, saya sempat mengucapkan bahwa sulit dibayangkan apa yang akan terjadi selanjutnya jika Pimpinan DPD tidak menandatangani Tatib Keputusan Sidang Paripurna.
Untuk diketahui bahwa meminta tandatangan Pimpinan DPD itu memang tugas BK, sesudah BK melakukan penyelarasan teknis redaksional seperti yang di tugaskan Paripurna kepada BK. Sudah beberapa kali BK mengirim surat kepada Pimpinan DPD, bahkan mengundang ke Rapat Pleno BK meminta kesediaan bertandatangan tapi belum juga bersedia. Maka saya mengambil inisiatif menawarkan pada kesempatan Sipur tersebut.
Istilah memaksa pimpinan itu adalah istilah yang diciptakan oleh orang tertentu yang dapat dianggap bertujuan mendeskreditkan.
Pada hari Sidang Paripurna 17 Maret 2016 yang ricuh itu, diinformasikan pada saya sudah ada 62 penandatangan “Mosi Tidak Percaya” dan akan bertambah terus jika Tatib tidak ditandatangani.
Saya telah menghubungi Pimpinan BK lainnya yang sedang reses di daerah pemilihannya, dan kami sepakat untuk mengadakan Rapat Pleno BK menjelang Paripurna tanggal 11 April 2016 untuk mengantisipasi jangan sampai terjadi lagi kericuhan. Sementara itu, dari kalangan inisiator pengedar tandatangan “Mosi Tidak Percaya” menginformasikan lagi kepada saya bahwa akan tetap menyerahkan kepada BK apa yang disebutnya “Mosi Tidak Percaya” itu dengan penandatangan yang bertambah banyak, katanya. Maka apa yang saya duga dan khawatirkan rupanya akan terjadi.
Hemat saya, kita sebagai politisi tingkat nasional di parlemen yang mestinya sudah menyandang gelar negarawan harus dapat menemukan suatu solusi akibat belum dilaksanakannya Keputusan Sidang Paripurna tanggal 15 Januari 2016. Bagaimana bentuk solusi itu, mari kita coba rumuskan dalam forum terbatas sebelum Sipur.
Kita berharap bahwa dengan solusi yang dicapai itu, maka tidak ada seorangpun Anggota DPD yang telah ikut dalam pengambilan keputusan pada Sipur tersebut (baik yang memilih Draf A ataupun Draf B) merasa tidak tertampung pemikirannya. Semoga dengan itu dapat dicapai penyelesaian demi kepentingan DPD sebagai lembaga negara.