Lihat ke Halaman Asli

Saya Tidak Pernah Menyesal

Diperbarui: 17 Juni 2015   20:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"MERDEKA...!"

Haji Andi Mappetahang Fatwa (54) berteriak, begitu keluar dari mulut pintu Lembaga Pemasyarakatan Cipinang sambil mengangkat kedua tangannya. Bersamaan dengan itu, puluhan keluarga, rekan dekatnya segera menyerbu dan berebutan merengkuhnya. "Alhamdulillah, Anda bebas," ucap salah seorang di antara mereka. Gelagapan juga Fatwa menerima "serbuan" masa itu.

Setelah suasana berangsur reda, lelaki yang dikenal religius ini melepaskan diri dari "kepungan" masa. Ia menggelar sajadah dan melakukan sujud syukur persis di depan gerbang Cipinang. Tapi, baru usai dengan sujud ini, ia sudah diserbu sejumlah wartawan media massa cetak dan elektronik.

"Pak Fatwa, apakah Anda menyesali segala yang telah terjadi atas diri Anda?" seorang reporter sebuah media masa elektronik bertanya seraya menyodorkan mike. Lama Fatwa tertegun melihat reporter wanita yang mengajukan pertanyaan.

Reporter itu, adalah anaknya sendiri Dian Islamiati (24). "Oh, sebagai muslim, saya tidak pernah menyesali masa lalu. Saya mengambil hikmahnya," ucap Fatwa, yang lantas memasuki mobilnya.

"Ayah, semoga ayah selalu sehat dan baik," ucap reporter itu seraya mencium pipi Fatwa.

Sebelum keluar gerbang Cipinang, Fatwa masih mesti mengikuti acara penting, yaitu pelepasannya sebagai napi oleh Bakorstranasda di lantai II kantor LP Cipinang, di mana hadir Pangdam Jaya Mayjen TNI AM Hendropriyono, Kapolda Metro Jaya Mayjen Pol Drs Hindarto, dan Kajakti DKI Jakarta, H BTP Siregar SH. Pada acara pelepasan itu, selain diisi sambutan Pangdam, Fatwa juga sempat membacakan "paper"nya setebal tujuh halaman.

* * *

ANDI Mappetahang Fatwa, anggota Petisi 50, kelahiran Cege, Kabupaten Bone, Sulsel 12 Februari 1939 itu, memang sudah cukup akrab dengan jeruji LP, untuk membayar prinsip yang dikukuhinya. Pada zaman Orde Lama, ia harus meringkuk dalam tahanan selama 6 bulan, karena tuduhan mendalangi insiden di IAIN pada 1963.

Di masa Orde Baru, Fatwa masih juga keras. Sebagai muballigh, sejak 1977, ia disorot tajam. Akhir 1977 dalam kesempatan peringatan 1 Muharram, ia menyerang aliran kebatinan, sehingga dia pun ditahan selama 9 bulan. Pukulan berikutnya muncul September 1979, ketika dia diberhentikan sebagai pegawai DKI dengan tidak hormat. Ia dituduh telah melanggar sumpah jabatan dan menghasut masyarakat untuk tidak percaya pada pemerintah.

Tahun 1984 ia dijebloskan ke Lembaga Pemasyarakatan atas perkara subversi. Sejak itu dia merasakan 4 LP, dua rumah tahanan militer dan satu rumah tahanan. Itu dimulai dari Rumah Tahanan Militer (RTM) Guntur, kemudian dipindahkan ke RTM Cimanggis. Saat kasusnya ditangani pengadilan, ia dititipkan ke Rutan Salemba, Jakarta Pusat. Setelah itu "pengembaraannya" dilanjutkan ke LP Cipinang tahun 1985-1987, ke LP Cirebon (1987), LP Sukamiskin (1988), LP Bogor (1989-1992), kemudian kembaki ke LP Cipinang (1992 sampai bebas (bersyarat), 23 Agustus 1993).

***

PELEPASAN Fatwa, memang agak lain dari biasanya. Sebelum bebas, Fatwa terlebih dulu diambil sumpah oleh Kalapas Cipinang, Soeharto. Fatwa pun mesti memegang bendera merah putih, ketika lagu Padamu Negeri diperdengarkan. Tak ayal, acara itu cukup membuat Fatwa dan keluarganya hanyut dalam suasana haru.

Istri Fatwa, Nurjannah, putra-putrinya, tak mampu menahan air mata. Fatwa sendiri tampak berusaha tegar, dan mengerjap-ngerjapkan matanya untuk menahan haru. Namun air matanya toh tumpah juga ketika acara selesai dan satu persatu keluarga dan kerabatnya memeluknya.

Berbeda dari biasanya, Fatwa juga harus menyelesaikan dulu papernya, sebelum dilepaskan dari LP. Itu sudah disusunnya dan dibacakan dalam acara kemarin. "Sikap ekstrim, bukan lah jalan keluar yang baik dan benar. Atas segala urusan dan masalah, jalan yang terbaik dan benar adalah musyawarah," katanya.

Pancasila dan UUD 1945 telah memberi tempat pada musyawarah dan demokrasi yang sesuai dengan sikap hidup bangsa. "Memang kelompok ekstrim di kalangan Islam merupakan hal yang tak terelakkan. Dalam sejarah, senantiasi ada kelompok macam itu, termasuk di Indonesia".

Namun, kata Fatwa, yang harus menjadi ukuran adalah, mayoritas umat Islam merupakan penganut dan pembela demokrasi dan musyawarah. "Di Indonesia, itu sudah menjadi pola umum perjuangan perjuangan umat Islam sejak zaman pergerakan, kemerdekaan, apalagi zaman pembangunan, termasuk pembangunan di bidang politik".

Pancasila dan UUD 45 merupakan alternatif satu-satunya dalam hidup berbangsa dan bernegara, sudah mengakomodasi cita-cita dan aspirasi umat Islam. Ini sesuai dengan kondisi obyektif masyarakat yang majemuk. "Ini sudah diuji oleh berbagai pengalaman pahit dalam sejarah, sehingga tidak relevan lagi untuk menghidupkan iysu negara Islam, baik dari kalangan Islam sendiri maupun pihak-pihak lainnya."

Toleransi beragama, adalah bagian ajaran Islam yang membolehkan persahabatan, bekerjasama, bersikap manis dengan kaum non Muslim yang tidak memerangi atau bersikap memusuhi. Umat Islam, ujar Fatwa, bahkan diperintahkan untuk berlaku adil terhadap mereka. Pemeluk agama lain menurut konsepsi Islam diberi jaminan dan dibela di dalam ibadat dan rumah suci mereka.

"Itu paper bagus dan nilainya cum laude. Tampak ada perubahan pada Fatwa terutama pandangannya terhadap Pancasila dan toleransi beragama. Apakah ini jaminan bahwa dia tak akan melakukan tindakan yang bisa menyebabkan dihukum lagi, itu tergantung Fatwa sendiri,"

ujar Pangdam Jaya Mayjen TNI Hendroprijono, ketika memberi sambutan.

Kalau pun Fatwa bertindak salah lagi, dia bisa kembali ke LP. Sebab pelepasannya kali ini, hanya lah pembebasan bersyarat. "Yang jelas, dia dihukum bukan karena mempersoalkan politik, tapi lantaran keputusan pengadilan," tandasnya. Hendropriyono punmeminta agar masa lalu HAM Fatwa tidak diungkit-ungkit lagi. Ia sudah kembali ke masyarakat dan sudah menjadi manusia baru, kata Hendro.

***

"SEBAGAI muslim, saya tak boleh menyesali masa lalu. Saya harus ambil hikmahnya, buat saya sendiri, keluarga maupun bangsa," ujarnya ketika ditemui Kompas Senin sore di kediamannya, seusai menerima beberapa wartawan asing.

Kini, katanya, dia harus melakukan konsolidasi dulu, terutama memperbaiki ekonomi keluarga. "Saya mesti mengoper tanggung jawab sebagai pimpinan rumah tangga yang dipegang istri saya selama 9 tahun saya ditahan," kata Fatwa, ketika ditanya apa yang akan dikerjakannya.

"Anak-anak sudah berkembang menjadi dewasa sendiri tanpa sentuhan saya," sambung ayah dari lima anak ini. Puteri Fatwa, Dian Islamiati, mengatakan sangat lega ayahnya telah bebas. Kali ini, tutur Dian, bebasnya ayahnya terasa lain dari baisanya. "Dulu-dulu ayah hanya masuk tahanan sebentar. Kali ini 9 tahun, cukup lama," ujar Dian.(abun sanda)

(dimuat pada harian KOMPAS Selasa, 24 Agustus 1993, halaman 1)




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline