Lihat ke Halaman Asli

Amer Sabili

Mahasiswa Pendidikan Sosiologi

Guru yang Terjajah dalam Kurikulum Merdeka

Diperbarui: 30 Oktober 2022   23:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Pendidikan merupakan sebuah upaya sistematis yang dilakukan secara dalam melahirkan generasi bangsa yang lebih maju. Dalam upaya tersebut tentunya tidak terlepas dari adanya kaitan dengan peran lembaga pendidikan, baik dalam hal kebijakan, pengembangan, dan pelaksanaan.  

Pesatnya perkembangan zaman dan arus budaya yang masuk dalam masyarakat, pendidikan dituntut agar mampu melahirkan generasi yang adaptif dalam menghadapi perubahan. 

Kurikulum adalah 'jiwa' dari pendidikan yang menjadi keniscayaan. Kurikulum Merdeka Belajar adalah kebijakan yang lahir pada masa kepemimpinan Nadiem Makarim selaku Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia (Kemendikbud Ristek RI).

Penerapan Kurikulum Merdeka Belajar merupakan bentuk adaptasi dunia pendidikan terhadap kemajuan dunia digital yang menuntut peserta didik memiliki ketangkasan 4C yaitu, critical thingking, communication, colbaoration, and creativity

Hal ini menjadi tantangan khsusunya bagi para guru yang berperan menjadi garda terdepan dalam proses pendidikan. Guru dituntut dalam meningkatkan mutu dan profesionalisme demi tercapainya tujuan dari kurikulum tersebut. Namun, apakah penerapan Kurikulum Merdeka Belajar ini sudah membuat merdeka setiap lapisan di pendidikan?

Dalam proses pengembangan pendidikan yang dilaksanakan oleh lembaga pendidikan pemerintahan ataupun swasta tentu tidak lepas kaitannya dengan tenaga pendidik yang perlu perhatian khusus oleh pemerintah selaku regulator. 

Data yang tercatat pada Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menyebutkan bahwa sebanyak 3.357.935 orang tenaga pendidikan, baik yang bertugas sebagai guru ataupun tenaga administrasi di lembaga pendidikan yang dikelola pemerintah dan swasta pada tahun 2022. 

Data tersebut tentunya bersifat dinamis dan akan mengalami perubahan seiring dengan berubahnya status yang dimiliki tenaga kependidikan baik yang baru bergabung maupun yang sudah memasuki masa purna bakti. 

Terdapat fakta yang mengejutkan dari data yang disajikan tersebut, bahwa terdapat hampir 50 persen jumlah tenaga pendidik di Indonesia merupakan tenaga honorer yang belum berstatus ASN (aparatur sipil negara).

Status kepegawaian yang dimiliki oleh tenaga kependidikan tentu memiliki pengaruh yang sangat signifikan terhadap taraf tingkat kesejahteraan tenaga pendidik itu sendiri. Besaran anggaran dari APBN pada ranah pendidikan yang kita ketahui kini mencapai angka 20 persen yang dicanangkan dalam undang-undang. Dengan besaran anggaran tersebut seyogyanya mampu menstabilkan dan memberi dampak yang positif pada dunia pendidikan, tak terkecuali dalam hal kesejahteraan tenaga kependidikan. 

Masih banyak ditemui tenaga pendidik yang memiliki kondisi kesejahteraan jauh dari kata layak, khususnya para tenaga pendidik yang belum tergolong ASN. Mereka bahkan harus mencari kerja sampingan agar mampu memenuhi kebutuhan pokoknya. Pemerintah dalam hal ini seolah-olah lepas tangan dalam melihat kondisi tenaga pendidik yang tidak sejahtera, namun membebankan peran mereka dalam mencapai tujuan pendidikan. Dengan anggaran  APBN yang tertulis untuk pendidikan masih belum membuat para tenaga pendidik mendapat kesejahteraan, sehingga mereka masih harus berjibaku dalam bertahan hidup ditengah status kepegawaiannya yang juga belum membaik.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline