Lihat ke Halaman Asli

Amel Widya

TERVERIFIKASI

PPNASN

Menulis Saja Dulu: Perjalanan Sebuah Dogma

Diperbarui: 9 November 2019   10:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokumentasi Pribadi

Saya percaya, tidak ada sesuatu yang benar-benar gampang dilakukan. Bahkan makan saja butuh proses dan waktu agar bisa menyuap atau mengunyah sendiri. Bayi tidak serta merta mampu menghabiskan sepiring nasi lengkap dengan peretelannya. 

Mula-mula hanya mengonsumsi air susu ibu, kemudian makanan yang dihaluskan, baru perlahan-lahan menikmati makanan yang bertekstur keras dan dalam porsi lebih banyak. 

Itu pun masih harus dikunyahkan dan disuapi dulu. Jika ada bayi yang langsung cekatan menyuap dan mengunyah sendiri, ia pasti bayi ajaib.

Saya pun percaya, menulis juga kurang lebih seperti itu. Sehebat apa pun seorang penulis, ia pasti pernah melewati masa belia di dunia tulis-menulis. 

Penulis yang sekarang dapat dengan mudah menyelesaikan tulisan, dari beberapa halaman hingga ratusan halaman, pasti pernah mengalami masa-masa "bayi" dalam menulis. 

Barangkali ia punya banyak tulisan pada masa lalu yang disimpan rapat di komputernya, tulisan yang berantakan dan sangat tidak ramah baca, tetapi disimpan sebagai kenang-kenangan bahwa ia pernah menjalani proses belajar menulis, seperti bayi pernah belajar secara alamiah mengunyah dan menelan makanan.

Bagaimana dengan pengalaman saya berproses dalam belajar menulis? Ya, seperti bayi. Ada sisi yang saya pelajari secara alamiah, ada sudut teknis yang mati-matian saya selami, ada pojok santai dari rimba kata yang saya biarkan mengalir saja seperti air. Fondasi kepenulisan saya bukanlah sesuatu yang sangat serius. 

Mula-mula sekadar suka, meskipun bukan iseng-iseng. Setelah itu, baru pelan-pelan saya amati gaya beberapa penulis idola saya. Dan, jreng, dari sanalah fondasi itu mulai mendapatkan lantai, dinding, dan atap. Bahkan lambat laun sudah mulai ada kamar-kamar di dalamnya, seperti kamar fiksi, kamar nonfiksi, dan kamar faksi.

Jadi, sekali lagi, saya memasuki dunia menulis dari pintu yang saya namai menulis karena suka. Ya, saya menulis karena suka dan dari suka lahirlah cinta. 

Hasilnya, saya makin jatuh cinta pada dunia menulis. Jika hari ini saya membaca ulang tulisan saya semasa SD atau SMP, pipi saya mendadak panas dan memerah. 

Sebagian hati saya dipenuhi rasa malu karena pernah menulis dengan amat awut-awutan, sebagian lagi dipenuhi rasa haru karena bangga pada kesukaan yang kemudian berubah menjadi kecintaan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline