Jangan mengira protagonis dalam novel ini, The Accidental Further Adventures of The 100-Year-Old Man, adalah eksekutif muda yang tampan dan memesona. Dari judulnya saja, pengarang Jonas Jonasson sudah membocorkan usia tokoh utamanya. Buang jauh-jauh harapan bahwa Allan adalah kakek yang menyenangkan. Ia sosok yang menyebalkan. Meski begitu, ia punya kecerdasan luar biasa untuk mencengangkan pembaca.
Petualangan Allan bermula pada hari perayaan ulang tahunnya yang ke-101. Sahabat karibnya, Julius Jonsson, memberikan kejutan baginya berupa hadiah menikmati pemandangan Bali dari balon udara. Sahabatnya itu, Julius, mantan penjahat kambuhan yang sudah bertobat dan menikmati masa tua sebagai petani asparagus di Pulau Dewata.
Setelah seperempat abad menghabiskan uang hadiah dari Mao Tse-dong, pada sebuah pertemuan tak disengaja, dengan berleha-leha di sebuah hotel bintang lima di Bali, Allan dan Julius dihantui tagihan hotel sebesar 150.000 dolar AS, setara dengan 2,1 miliar rupiah, pria 101 tahun itu mencoba peruntungan dengan memakai rumus "panjang akal banyak ide".
Balon udara melayang di udara tanpa pilot dan persiapan gas secukupnya. Terus melayang di atas Samudra Indonesia tanpa kompas atau alat GPS. Hanya sebuah tablet berlogo apel sedikit tergigit dan empat botol sampanye. Arah angin meniup balon ke tengah lautan alih-alih ke arah Australia. Dan, nasib nahas tiba satu demi satu.
Wajah Masam Kim Jong-un
Semua orang (termasuk Allan, saya, dan kalian) selalu berhadap-hadapan dengan serangkaian pilihan. Tentu saja kita merdeka dalam menentukan apa yang mau kita pilih. Kemerdekaan memilih itu sesungguhnya menegaskan keterbatasan pilihan. Ada yang membatasi pilihan kita. Batasan itu sering kita sebut takdir.
Jonas, selaku pengarang, menyuguhkan fakta tentang kemerdekaan dan keterbatasan itu. Allan, sang protagonis, bisa memilih tetap terkatung-katung dipermainkan ombak atau bertahan hidup di kapal perang Korea Utara yang sedang mengangkut empat kilogram uranium diperkaya. Pilihan pertama disertai ancaman hiu ganas, pilihan kedua diikuti bayangan kematian di tangan Pemimpin Tertinggi Korea Utara.
Kemerdekaan memilih tetaplah kebebasan, sekalipun sangat terbatas. Allan bebas memilih bagaimana ia bertahan hidup, tetapi ia tidak tahu di mana ia mati atau bagaimana ia mati. Di sinilah tragisnya. Ia tidak punya pengetahuan apa pun soal Kim Jong-un, Pemimpin Tertinggi Korea Utara, kecuali secuil berita yang dapat ia korek dari tabletnya. Akan tetapi, itu sedikit lebih menjanjikan dibanding dibuang ke laut dan bertarung melawan hiu.
Di dunia ini, menurut Albert Camus dalam The Myth of Sisyphus and Others Essays (1961, 18), segala sesuatu diberikan tanpa keterangan apa-apa. Suka tidak suka, Allan mesti menentukan pilihan. Sepahit apa pun. Kendatipun ia setiap saat direcoki Julius yang nyinyirnya makin menjadi-jadi. Berbekal teori tekanan hitosostat yang mendadak muncul di kosmis imajinasinya, ia pertaruhkan nyawanya sebagai ahli nuklir tanpa tanding.
Dalam novel ini, Jonas berhasil memadukan realitas "nasib di ujung tanduk" dengan "jalan keluar yang konyol". Keduanya bersumber dari aliran kesadaran (stream of consciousness). Mungkin juga dari tekanan kecemasan (anxiety pressure). Perhatikan nukilan di bawah ini.
Sebenarnya sangat sedikit yang Allan ketahui tentang hal-hal yang dilakukan oleh Kim Jong-un--tidak lebih dari yang dibacanya di tablet hitam. Dan, berita-berita itu tidak selalu menyenangkan. "Aku mengetahui semuanya," ujarnya. "Tetapi, untuk duduk di sini dan memuji semua pencapaianmu akan memakan terlalu banyak waktumu yang berharga." (Hlm. 86)
Bayangkan pria 101 tahun kalang kabut di depan Pemimpin Tertinggi Korea Utara yang dingin dan ketus. Bayangkan pria renta yang mati-matian mencari upaya selamat. Bayangkan "Pria Muda yang Dingin" yang sampai hati memasukkan seorang jenderal ke dalam akuarium untuk dilahap piranha. Bayangkan akal bulus seperti apa yang dapat menjauhkan Allan dari incaran maut.