Saya tidak bisa begitu saja menceritakan kapan saya mulai senang membaca. Ini ibarat perlahan jatuh cinta kepada seseorang: saya tidak tahu kapan awalnya dan bagaimana kejadiannya. Saya hanya bisa menceritakan buku yang saya baca dan mengapa saya menyukainya.
Saya memang senang membaca sejak kecil. Mula-mula buku cerita bergambar, komik, majalah anak-anak, buku cerita, lalu berpindah ke novel remaja. Beranjak dewasa, pelan-pelan saya beralih ke novel-novel tebal. Tinggal sesekali saya baca buku cerita anak, komik, atau novel remaja.
Dua hari lalu, sepulang kerja saya ke toko buku di sebuah mal. Saya senang berkunjung ke toko buku. Kalau pas ada uang, buku yang memantik selera segera saya boyong ke kasir. Apabila isi dompet sedang sekarat, saya hanya mencatat buku yang memikat hati dan berharap kelak bisa saya borong ke rumah.
Saya selalu merasa hidup ketika berada di tengah hamparan buku. Begitulah perasaan saya. Tiga buku berpindah ke tangan. Pertama, Angin Musim, sehimpun fabel anggitan Mahbub Junaidi. Kedua, Obrolan Sukab, kumpulan esai karya Seno Gumira Ajidarma. Ketiga, Malik dan Elsa, novel remaja karangan Boy Candra. Tiga buku berbeda warna, bukan?
Setiba di rumah, saya segera melahap Malik dan Elsa. Tidak, ini tidak terkait dengan selera baca. Ini juga tidak terkait dengan bacaan serius atau serius membaca, seperti dalam artikel saya tempo hari.
Mendadak saya ingin membaca novel ringan: ketika saya baca maka saya tak perlu mengernyitkan kening dan setelahnya saya tersipu-sipu seolah sedang berada pada masa remaja.
Malik dan Elsa berhasil saya khatamkan dalam kurun dua seperempat jam.
Tentang Malik dan Elsa
Boy Candra menemukan Malik dan Elsa seakan tanpa sengaja. Ia semacam menemukan suasana berbeda dari tiga belas buku yang lebih dulu ia karang. Tentu itu bukan sesuatu yang aneh dan ajaib, sebab ide memang sering datang tanpa diminta.
Yang aneh dan ajaib justru karena Boy berhasil merampungkan penciptaan Malik dan Elsa. Tidak semua orang mampu mengeksekusi lintasan idenya menjadi sebuah karya. Selain itu, Boy menuntaskan penulisan novel tersebut tidak dalam suasana hening, tidak dalam sebuah tapa yang jauh dari hiruk-pikuk duniawi, tetapi di sela-sela kesibukannya selaku penulis. Konon, ada bagian yang ia tulis di perjalanan ketika menunggu pesawat atau saat rebahan seusai mengisi acara dalam rangkaian tur bukunya.
Boy menata latar waktu dalam rentang yang singkat. Hanya delapan hari. Bermula pada hari pertama kuliah dan berakhir setelah masa "sepekan penarikan pajak makanan" usai. Latar tempat juga hanya sekitaran Padang: dari kampus ke kantin, dari pantai ke pantai, dari kos Malik ke rumah Elsa. Berputar di situ-situ saja.