Saya suka musik. Tidak peduli genre atau aliran, selama mengena di hati atau membuai rasa, saya akan menyukainya. Tidak peduli musik klasik atau dangdut asalkan kaki bergerak ritmik dan kepala menganggut-anggut, itu pertanda saya suka.
Meskipun lahir sebagai angkatan milenial, musik yang saya sukai acapkali lebih tua dibanding usia orangtua saya. Beberapa saat sebelum turun dari pesawat, misalnya, bulu roma saya sering mendadak merinding tatkala mendengar syair Tanah Airku, gubahan Ibu Sud, mengalun pelan dan syahdu.
Uniknya, selera kekinian saya tetap ada unsur klasiknya. Ketika luluran sebelum mandi, misalnya, saya senang mengayun-ayun perasaan dengan mendengarkan suara Omara Portuondo.
Seperti angkatan milenial pada umumnya, benak saya juga dipenuhi rasa penasaran atau rasa ingin tahu yang sangat tinggi. Sering kali saya kepo demi memuaskan rasa ingin tahu itu. Itulah yang saya alami ketika menyaksikan seorang pianis andal beraksi di panggung.
Ananda Sukarlan. Komposer kelahiran Jakarta yang lama melanglang di Eropa itu tengah menarikan jemari di atas tuts-tuts piano, memindahkan kata ke sendu nada, mengalihkan aksara ke indah komposisi, dan puisi panjang La Ronde karya Sitor Situmorang memanjakan telinga saya.
Tidak hanya itu. Saya semakin takjub karena Ananda mengajak angkatan milenial untuk tampil sepanggung dengannya. Nikodemus Lukas, penyanyi muda bersuara emas dari Surabaya, berhasil membetot perhatian saya sewaktu melantunkan Surat Kertas Hijau.
Rasa penasaran saya menjadi-jadi. Serta-merta saya mengulik gawai untuk mencari tahu siapa sih Ananda Sukarlan yang malam itu, Kamis (19/3/2015), pada pembukaan Asean Literary Festival di Teater Kecil Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta, telah mengobok-obok hati saya.
Hasil tamasya di internet membuat saya terperanjat. Ternyata saya sedang menyaksikan salah satu dari 2000 musisi yang dipilih oleh International Biographical Center of Cambridge dalam buku International Who's Who in Music.
Sehabis pembukaan, saya sempat berbincang amat dekat dengan Mas Ananda. Matanya berkilat-kilat penuh semangat ketika berkata, "Saya selalu berhasrat memaknai puisi dengan mengalihkannya dari gelora kata ke dalam nada."
Saya terharu mendengarnya. Pada obrolan singkat di depan pintu masuk Teater Kecil bersama lelaki yang malam itu "saya temani ke TIM karena ikut tampil membacakan puisi karya Sitor Situmorang", rasa kagum kepada pianis itu menyelimuti hati saya.
Sepulang dari Taman Ismail Marzuki, lelaki yang saya temani itu bercerita banyak tentang Mas Ananda. Dari situ saya tahu bahwa Mas Ananda memang gemar menadakan puisi. Beberapa karya pujangga Indonesia telah digubah oleh beliau menjadi komposisi musik seperti karya Adimas Immanuel, M. Aan Mansyur, Hasan Aspahani, dan puisi karya "lelaki yang saya temani itu".