Sejak awal November 2018, seorang sahabat saya mengeluhkan kondisi kesehatannya. Ia sering mual tanpa sebab. Kadang ia merasa ingin muntah, tetapi urung ketika sudah di kamar mandi. Satu lagi yang sangat menyebalkan baginya, sering berkeringat dingin.
Sebagian orang bilang kepadanya bahwa ia masuk angin. Dengan berat hati ia jalani "terapi kerok", walaupun ia takut menanggung rasa sakit akibat kulit dikerik. Sensasi mual, muntah, dan keringat dingin itu masih ada, sekalipun punggungnya sudah dikerok berkali-kali.
Seminggu kemudian ia mengeluh lagi. Kali ini ia bercerita tentang pendar-pendar bintang setiap ia merasa pusing. Meskipun hanya duduk sebentar, ia akan keleyengan begitu berdiri. Kadang ia merasa seperti orang mabuk yang berjalan sempoyongan. Ia juga sering meminta punggungnya disangga karena ia takut terjatuh. Seorang teman berkata kepadanya: kamu "kurang darah".
Menjelang akhir November, ia bercerita tentang dirinya yang seakan-akan berada di dunia fantasi. Sesekali ia merasa tubuhnya seperti mengambang dan melayang di udara, sesekali ia melihat dunia dan apa saja di sekitarnya berputar-putar, sesekali telinganya mendenging seperti desing peluru berhamburan.
Setelah berkonsultasi ke klinik di dekat rumahnya, ternyata ia menderita vertigo dan dirujuk ke rumah sakit. Karena tidak ingin berlama-lama menikmati sensasi dunia fantasi, ia segera ke rumah sakit untuk berobat. Seluruh tagihan di rumah sakit dibayar tunai, padahal ia peserta BPJS Kesehatan.
Kala petugas rumah sakit bertanya kepadanya soal mengapa ia tidak menggunakan fasilitas BPJS Kesehatan, dengan pelan ia menjawab, "Saya rutin membayar iuran BPJS Kesehatan setiap bulan bukan untuk diri sendiri, melainkan bagi orang lain yang lebih membutuhkan."
Baginya, BPJS Kesehatan adalah ladang amal tempat kelak ia dapat memetik pahala. Mendengar kisah dan pendapatnya, hati saya terketuk.
Tradisi Gotong Royong
Sejak dahulu kala, kita sudah lekat dengan tradisi gotong royong. Yang berat ditanggung bersama, yang ringan dijinjing bersama. Dengan kata lain, anak-anak Ibu Pertiwi intim dengan tradisi bantu-membantu atau tolong-menolong. Tradisi itu lazim kita sebut "gotong royong".
Di kampung-kampung, tradisi itu masih lestari. Ada jembatan rubuh, warga bergotong royong memperbaikinya. Ada tetangga tidak mampu yang jatuh sakit, warga riungan mengumpulkan biaya. Ada kerabat yang hajatan, sanak famili datang membawa apa saja yang dapat meringankan beban penyelenggara hajat.
Kisah sahabat saya di awal tulisan ini bukanlah pepesan kosong. Di ranah Twitter, beberapa orang pernah menceritakan hal serupa. Ada saja orang baik yang diam-diam membantu meringankan beban orang lain tanpa ingin disorot kamera, ditenarkan berita, dan disiarkan penyiar. Mirip saat penyumbang pembangunan rumah ibadah mengganti namanya dengan "Hamba Allah" atau "Pelayan Tuhan".