Lihat ke Halaman Asli

Amel Widya

TERVERIFIKASI

PPNASN

Puisi | Narasi Luka Hati

Diperbarui: 3 November 2018   22:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi: Pixabay

Dulu aku menyusu di payudara ibumu. Begitu kehendak takdir. Kita tumbuh dari air susu yang sama. Padahal, aku tidak pernah memohon kepada Tuhan agar ibumu menjadi ibu susuku. Aku juga tidak pernah berdoa agar kita menjadi saudara sesusuan. Kita menangis dan tertawa bersama. Kita bahagia dan terluka bersama. Kita merancang rencana perjalanan berdua. Diam-diam cinta menyusup ke dalam dada kita. Entah bagaimana mulanya, pada suatu ketika kamu menyusu di payudaraku.

Dulu aku menyusu di payudara ibumu. Begitu kuasa takdir. Takdir pula yang sekarang menyeret kita ke dalam satu bilik cinta. Menyekap kita dalam bilik itu sehingga kita tidak melihat ada cinta selain di pelukan kita. Lalu sepat masa depan memukul-mukul jantung kita. Karena dalam darah kita mengalir susu yang sama, maka haram bagi kita hidup bersama dalam satu rasa. Kita cuma titik embun di daun yang bergulir jatuh ke tanah tanpa jejak basah. Mana mampu kita membendung banjir rindu. Pohon cinta di dada kita tumbuh rimbun dan rindang. Kamu tetap menyusu di payudaraku.

Dulu aku menyusu di payudara ibumu. Begitu garis takdir. Pada mata ibumu kamu larikan perih nasib, pada matamu aku menyembunyikan pedih cinta. Ada duka membayang di matamu, ada luka mengembang di mataku. Luka yang mencucuk air mata di pipiku, duka yang mencecap getir di sudut bibirmu. Mestinya agama tidak memenjara dua hati yang saling mencinta. Tabu bagi kita mengisap tebu pelaminan. Aku tidak tahu bagaimana bisa kamu memilih pergi, menjauh, hanya gara-gara ngilu sendu. Seakan-akan tidak tahu perasaanku, kamu berniat pergi sesaat setelah menyusu di payudaraku.

Dulu aku menyusu di payudara ibumu. Begitu alir takdir. Orang-orang menyangka kamu ke kota megapolitan, yang kerap kita bincangkan, demi meraup rezeki. Andai kamu tahu, ada yang berderak di dadaku. Kita sering bercerita tentang Burj Khalifa, bangunan yang kita sempat bayangkan akan menyeruput teh di lantai 160 atau berdoa pada ketinggian enam ribu meter biar Tuhan lebih mendengar permintaan kita. Aku sedih membayangkan kamu berangkat sendiri. Kupalingkan dukaku dari matamu sesaat sebelum pesawat membawamu pergi. Pukul dua dinihari kamu tergugu di pelukan ibumu, pukul dua dinihari aku tersedu di pelukanmu. Aku tidak tahu kapan kamu akan kembali menyusu di payudaraku.

Dulu aku menyusu di payudara ibumu. Begitu getir takdir. Aku tahu betapa nyeri rasanya berusaha lari dari luka. Kamu pergi karena ingin menjauhi nestapa. Aku tahu itu. Dua tahun berlalu, kamu tetap hidup sendiri. Aku juga masih sendiri. Tiga tahun berlalu, kamu belum menikah. Aku juga belum menikah. Kamu setia pada janji tidak akan menikah dengan perempuan mana pun, aku bertahan mencari lelaki yang sepenyayang dirimu. Pada tahun keempat, kabar darimu tinggal satu-satu. Kularikan deritaku pada pelukan banyak lelaki, tetapi kenangan kamu menyusu di payudaraku sangat lekat dalam ingatan. Pada tahun kelima, aku dan ibumu benar-benar kehilangan kamu.

2014

Amel Widya

Puisi ini dikembangkan ke dalam cerpen: Dulu Aku Menyusu di Payudara Ibumu. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline