Tik tik tik bunyi hujan di atas genting
Airnya turun tidak terkira
Cobalah tengok dahan dan ranting
Pohon dan kebun basah semua. ~ Ibu Sud, Tik Tik Bunyi Hujan
Saya belum lahir ketika penembakan misterius pada 1983 sedang gencar terjadi. Bahkan Ayah dan Ibu saya belum bertemu. Penghilangan nyawa preman-preman bertato secara paksa itu hanya saya temukan lewat guntingan koran, buku-buku, dan cerita-cerita pendek.
Empat tahun lalu, pada awal Desember di serambi yang terlindung dari rintik hujan, ketika mata saya agak jemu membaca teori-teori sastra demi skripsi, saya beralih membaca cerita pendek. Kali ini, cerpen berlatar petrus alias penembak misterius. Judulnya sejuk. Bunyi Hujan di Atas Genting.
Saya penyuka karangan Seno Gumira Ajidarma. Supaya lebih praktis dan manis, selanjutnya saya sebut Papa Seno. Saya pertama kali berjumpa dengan Papa Seno lewat Sepotong Senja untuk Pacarku, lalu Matinya Seorang Penari Telanjang, kemudian Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi.
Saya juga pernah menemui beliau melalui novel yang saya baca selama berhari-hari. Judulnya Kitab Omong Kosong dan Nagabumi: Jurus Tanpa Bentuk. Lantaran sering membaca karya beliau, saya pun jatuh cinta kepada tokoh-tokoh rekaan Papa Seno. Terutama Alina dan Sukab.
Dalam cerpen Bunyi Hujan di Atas Genting, saya bercengkerama dengan Alina. Tokoh rekaan Papa Seno itu sedang mendengarkan dongeng dari si juru cerita. Mereka laksana benar-benar ada, sungguh-sungguh nyata, dan rasanya saya berada di sisi Alina seraya menyimak kisah tentang Sawitri dan Petrus dengan khidmat.
"Ceritakanlah padaku tentang ketakutan," kata Alina pada juru cerita itu. Maka juru cerita itu pun bercerita tentang Sawitri.
Ketika membaca judul cerpen, tanpa sadar saya menyanyikan lagu anak-anak karangan Ibu Sud. Tik tik bunyi hujan di atas genting. Apalagi hujan di halaman rumah saya sedang menyapa bugenvil. Namun, senandung saya terhenti karena kejutan yang langsung mengentak.
Mengapa Alina demikian ingin tahu soal ketakutan?
Hanya satu pertanyaan, tetapi sangat manjur untuk membungkam senandung saya. Lekas-lekas saya tegakkan punggung, yang semula bersandar di kursi rotan, dan memelototi paragraf kedua.