Lihat ke Halaman Asli

Penegakan Keadilan Restoratif di dalam Sistem Peradilan Pidana Anak

Diperbarui: 25 Juni 2015   05:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di dalam rumusan sila kedua dan sila kelima Pancasila, terdapat kata “keadilan” yang menunjukkan bahwa memang keadilan itu harus ditegakkan dan dijunjung tinggi. Penegakan keadilan dalam kehidupan bermasyarakat memiliki arti penting dalam salah satu upaya membangun peradaban bangsa yang tinggi dan bermartabat. Tidak akan maju peradaban dari suatu bangsa apabila tidak didasarkan atas peri kehidupan berkeadilan. Disinilah hukum berfungsi sebagai pelindung kepentingan manusia, menciptakan ketertiban dan keseimbangan sehingga tercapailah keadilan yang diharapkan.
Keadilan adalah tujuan akhir dari sebuah sistem hukum, yang terkait erat dengan fungsi sistem hukum sebagai sarana untuk mendistribusikan dan memelihara suatu alokasi nilai-nilai dalam masyarakat, yang ditanamkan dengan suatu pandangan kebenaran, yang secara umum merujuk kepada keadilan. (Lawrence M.Friedman, 1975 : 17-18). Terkadang hukum positif tidak sepenuhnya menjamin rasa keadilan, dan sebaliknya rasa keadilan seringkali tidak memiliki kepastian hukum, sehingga komprominya adalah bagaimana agar hukum positif yang ada selalu merupakan cerminan dari rasa keadilan itu. (Dyah Octorina dan IGN Parikesit, 2011 : 8)
Keadilan ini adalah ihwal yang mendasar bagi bekerjanya suatu sistem hukum. Sistem hukum tersebut sesungguhnya merupakan struktur atau kelengkapan saja untuk mencapai konsep keadilan yang telah disepakati bersama. (Satjipto Rahardjo, 2007 : 270)
Dalam sistem hukum di mana pun di dunia, keadilan selalu menjadi objek perburuan, khususnya melalui lembaga pengadilannya. Dari pengamatan terhadap sistem hukum di dunia, hampir tidak ada negara yang benar-benar telah puas dengan sistem hukum yang digunakannya. Oleh karena itu, perombakan, pembaruan atau reform, dapat kita lihat terjadi dari waktu ke waktu di berbagai negara. Bahkan, Amerika Serikat (AS) yang sering “dijagokan”, sampai sekarang masih terus gelisah menginginkan pembaruan.
Usaha penegakan keadilan memerlukan perlindungan hukum yang kuat. Paying pertama yang paling penting adalah berupa produk perundang-undangan dan peraturan pemerintah. Produk perundang-undangan dan peraturan pemerintah tersebut harus mampu memberikan jaminan bagi terselenggaranya prosedur dan kesempatan yang adil bagi setiap masyarakat. Keduanya juga harus lahir dari prosedur yang adil dan hak yang sama bagi setiap orang.
Keberadaan Pasal 34 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang jelas-jelas berpihak pada program penegakan keadilan sosial berdimensi kerakyatan jelas menjadi modal awal yang sangat penting dalam melahirkan produk perundang-undangan di bawahnya. Keberadaan pasal ini sekaligus memperlihatkan adanya political will negara dalam membangun keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Kini tinggal bagaimana pesan yang tercantum dalam konstitusi itu harus diwujudkan dalam kehidupan nyata.
Selanjutnya, agar semua usaha penegakan keadilan dapat berjalan dengan baik, perlu pula dibangun institusi-institusi yang khusus bertugas di bidang penyelenggaraan sekaligus pemantau program-program penegakan keadilan. Dengan demikian, institusi tersebut tdak hanya diarahkan pada upaya penyelenggaraan usaha penegakan keadilan semata tetapi sekaligus sebagai pemantau pelaksanaan program penegakan keadilan. (Rena Yulia, 2010 : 135)
Dalam rangka mewujudkan suatu keadilan tersebut, maka diperlukan suatu kegiatan peradilan atas pelanggaran hukum yang biasanya lazim juga disebut kegiatan penegakan hukum. Penegakan hukum dalam arti sempit menyangkut kegiatan penindakan terhadap setiap pelanggaran atau penyimpangan terhadap peraturan perundang-undangan, khususnya melalui proses peradilan pidana yang melibatkan peran aparat kepolisian, kejaksaan, advokat atau pengacara, dan badan-badan peradilan. Oleh karena itu, dalam arti sempit, aktor-aktor utama yang peranannya sangat menonjol dalam proses penegakan hukum itu adalah polisi, jaksa, pengacara, dan hakim. (Jimly Asshidiqqie, 2010 : 312)
Adapun aktor-aktor penegak hukum atau yang juga merupakan komponen dari sistem peradilan pidana meliputi (Yesmil Anwar dan Adang, 2009 : 64) :
1.Kepolisian, memiliki tugas utama menerima laporan dan pengaduan dari publik manakala terjadinya tindak pidana, melakukan penyelidikan adanya penyidikan tindak pidana, melakukan penyaringan terhadap kasus-kasus yang memenuhi syarat untuk diajukan ke kejaksaan, melaporkan hasil penyidikan kepada kejaksaan dan memastikan dilindunginya para pihak yang terlibat dalam proses peradilan pidana.
2.Kejaksaan dengan tugas pokok yaitu menyaring kasus yang layak diajukan ke pengadilan, mempersiapkan berkas penuntutan, melakukan penuntutan dan melaksanakan putusan pengadilan.
3.Pengadilan yang berkewajiban untuk menegakkan hukum dan keadilan, melindungi hak-hak terdakwa, saksi dan korban dalam proses peradilan pidana, melakukan pemeriksaan kasus-kasus secara efisien dan efektif, memberikan putusan yang adil dan berdasarkan hukum, dan menyiapkan arena public untuk persidangan sehingga public dapat berpartisipasi dan melakukan penilaian terhadap proses peradilan di tingkat ini.
4.Lembaga pemasyarakatan, yang berfungsi untuk menjalankan putusan pengadilan yang merupakan pemenjaraan, memastikan perlindungan hak-hak narapidana, melakukan upaya-upaya untuk memperbaiki narapidana, mempersiapkan narapidana untuk kembali ke masyarakat.
5.Pengacara, dengan fungsi melakukan pembelaan bagi klien, dan menjaga hak-hak klien dipenuhi dalam proses peradilan pidana.
Fungsi sistem peradilan pidana untuk menanggulangi kejahatan sangat diperlukan dalam penegakan hukum. Akan tetapi sistem yang ada sekarang belum berfungsi secara optimal. Hal itu dikarenakan banyak hal-hal yang belum sesuai dengan kondisi masyarakat. Kondisi masyarakat yang terus berkembang memaksa hukum untuk terus berkembang pula, menyesuaikan dengan keinginan masyarakat agar tetap dapat menjaga rasa keadilan dan kepastian hukum yang selama ini diinginkan.
Dalam sistem peradilan pidana anak, komponen-komponen yang dimiliki pun sama dengan sistem peradilan pidana biasa. Hanya saja yang membedakan adalah penerapan prinsip-prinsip dalam sistem peradilan pidananya, yaitu adanya pengistimewaan perlakuan atau perbedaan perlakuan terhadap pelakunya. Pada prinsipnya, perlakuan-perlakuan khusus yang seharusnya dilakukan oleh aparat penegak hukum telah diatur di dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Namun faktanya, masih banyak terjadi pelanggaran-pelanggaran terhadap hak-hak anak yang berhadapan dengan hukum oleh aparat penegak hukum. Seperti yang terjadi di Terminal Bandara Cengkareng, dimana petugas yang berwenang dengan arogan menangkap dan menahan anak yang diduga sedang berjudi, atau ada kasus di Yogyakarta yaitu terjadi kekerasan yang dilakukan terhadap anak yang sedang menjalani penyidikan dan mereka ditahan bersama dengan orang dewasa. Padahal dalam hal penyidikan dan penahanan sebisa mungkin tidak bercampur dengan orang dewasa agar tidak menimbulkan trauma, merusak moral dan membahayakan mental si anak. Juga dalam kasus Raju dari Sumatera, hakim yang memeriksa dalam persidangan memakai toga, padahal dalam Undang-Undang tentang Pengadilan Anak, hakim tidak diperbolehkan memakai toga. Hal-hal seperti inilah yang seharusnya tidak boleh dilakukan oleh aparat penegak hukum. Dengan melihat penanganan yang di luar ketentuan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum tersebut , dapat dikatakan bahwa cara tersebut sebenarnya sudah menghukum anak sebelum adanya vonis hakim.
Banyak hal yang harus diperhatikan dalam hal menegakkan hukum dalam sistem peradilan pidana anak. Anak yang diduga melakukan tindak pidana harus selalu didampingi oleh pengacara dan psikolog anak, mulai dari proses penyidikan sampai proses persidangan. Adanya penahanan, harus dipertimbangkan sematang-matangnya karena langkah itu adalah upaya terakhir. Sedangkan proses persidangan harus dilakukan secara tertutup kecuali pada saat pembacaan putusan. Sanksi yang dijatuhkan terhadap pelaku ini bisa berupa tindakan mengembalikan si anak kepada orang tua, menyerahkan kepada negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan dan latihan kerja, serta menyerahkan ke Departemen Sosial untuk mengikuti pembinaan.
Beberapa hak-hak anak dalam proses peradilan pidana perlu diberi perhatian khusus, demi peningkatan pengembangan perlakuan adil dan kesejahteraan yang bersangkutan. Proses peradilan pidana ini meliputi proses sebelum sidang peradilan, selama sidang peradilan, dan setelah sidang peradilan. Sehubungan dengan ini maka ada beberapa hak-hak anak yang perlu diperhatikan dan diperjuangkan pelaksanaannya, yaitu (Bismar Siregar, 1986 : 51-55) :
1.Sebelum persidangan :
1)Hak diperlakukan sebagai yang belum terbukti bersalah;
2)Hak untuk mendapatkan perlindungan terhadap tindakan-tindakan yang merugikan, menimbulkan penderitaan mental, fisik, sosial dari siapa saja;
3)Hak untuk mendapatkan pendamping, penasihat dalam rangka mempersiapkan diri dalam persidangan yang akan datang dengan prodeo;
4)Hak untuk mendapatkan fasilitas ikut serta memperlancar pemeriksaan terhadap dirinya.
2.Selama persidangan :
1)Hak mendapatkan penjelasan mengenai tata cara persidangan dan kasusnya;
2)Hak mendapatkan pendamping, penasihat selama persidangan;
3)Hak untuk mendapatkan fasilitas ikut serta memperlancar persidangan mengenai dirinya;
4)Hak untuk mendapatkan perlindungan terhadap tindakan-tindakan yang merugikan, menimbulkan penderitaan mental, fisik, sosial;
5)Hak untuk menyatakan pendapat;
6)Hak untuk memohon ganti rugi atas perlakuan yang menimbulkan penderitaan, karena ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan menurut cara yang diaturdalam KUHAP Pasal 1 ayat 22;
7)Hak untuk mendapatkan perlakuan pembinaan atau penghukuman yang positif, yang masih mengembangkan dirinya sebagai manusia yang seutuhnya;
8)Hak akan persidangan tertutup demi kepentingannya.
3.Setelah persidangan :
1)Hak untuk mendapatkan pembinaan atau penghukuman yang manusiawi sesuai dengan Pancasila, UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan ide mengenai pemasyarakatan;
2)Hak untuk mendapatkan perlindungan terhadap tindakan-tindakan yang merugikan, menimbulkan penderitaan mental, fisik, sosial dari siapa saja;
3)Hak untuk tetap dapat berhubungan dengan orang tua dan keluarganya.
Hak-hak atas anak yang sedang berhadapan dengan hukum juga telah diatur dalam Undang-undang tentang Pengadilan anak yang berperspektif perlindungan terhadap anak itu sendiri. Para penegak hukum yang telah memperlakukan anak dengan semena-mena seperti yang disebut sebelumnya, tidak mengimplementasikan norma tersebut di dalam proses peradilan. Sehingga, anak pun tidak mendapatkan keadilan yang sepantasnya didapatkan. Dari sekitar 7.000 kasus anak yang berhadapan dengan hukum setiap tahunnya, sekitar 90 persen diproses pengadilan dan berakhir dengan vonis pidana. Hanya 10 persen yang tidak. Ini menunjukkan betapa mengkhawatirkan penanganan dan perlindungan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum atau anak sebagai pelaku tindak pidana.
Sistem atau penyelenggaraan hukum di Indonesia dewasa ini dalam suasana keambrukan. Hal yang paling sering disoroti adalah kinerja pengadilan atau sistem peradilan kita yang jauh dari memuaskan. Tetapi sebetulnya, fokus keambrukan itu lebih luas daripada hanya di pengadilan. Berdasarkan pengalaman di negara lain, fokus perhatian ingin diarahkan pada konsep kita tentang keadilan dan apa yang perlu diperbaiki. Sistem peradilan pidana yang diharapkan dapat berperan dalam penataan keadilan dan sebagai sarana pengendalian sosial, justru mengakibatkan ketergantungan pada kekuasaan politik dominan dan mengakibatkan kecenderungan mempertahankan tata tertib sosial serta melegitimasi pola-pola subordinasi sosial. Sistem peradilan pidana yang diharapkan dapat mewujudkan keinginan masyarakat untuk memperoleh keadilan, justru bergantung terhadap penguasa sehingga seolah-oleh hukum hanya milik penguasa, bukan milik masyarakat
Dari kondisi yang digambarkan di atas, maka perlu dilakukan reformasi terhadap sistem penegakan hukum dengan melakukan pembaruan dan perombakan secara tidak tanggung-tanggung. Pembaruan yang tidak setengah-setengah ini adalah dengan melakukan konseptualisasitentang keadilan yang pada gilirannya akan menggerakkan seluruh sistem hukum kita. Semua itu dilakukan dalam kerangka mewujudkan suatu pembaruan lebih besar menuju penegakan hukum atau penyelenggaraan hukum yang progresif.
Merumuskan konsep keadilan progresif dapat dimulai dari mengenali sisi kebalikannya, yaitu keadilan yang tidak progresif. Sebagai akibat dari hukum modern yang memberikan perhatian besar terhadap aspek prosedur, kita dihadapkan pada pilihan besarantara pengadilan yang menekankan pada prosedur atau pada substansi.(Satjipto Rahardjo, 2007 : 274). Antara keadilan retributif atau keadilan restoratif. Perdebatan tentang keadilan dalam pemidanaan yang tepat menggambarkan perbedaan antara perspektif keadilan retributif dan perspektif keadilan restoratif, baik keadilan prosedural maupun keadilan substantif.
Keadilan restoratif adalah bukan keadilan yang menekankan pada prosedur (keadilan prosedural), melainkan keadilan substantif. Kita menginginkan keadilan substantif menjadi dasar dari negara hukum kita, karena itu prospek yang sangat baik untuk membahagiakan bangsa kita. Negara hukum Indonesia hendaknya menjadi negara yang membahagiakan rakyatnya dan untuk itu di sini dipilih konsep keadilan yang restoratif, yang tidak lain adalah keadilan substantif tersebut.
Menurut Agustinus Pohan, keadilan restoratif merupakan konsep keadilan yang sangat berbeda dengan apa yang dikenal dalam sistem peradilan pidana di Indonesia saat ini yang bersifat retributif. Keadilan restoratif merupakan sebuah pendekatan untuk membuat pemindahan dan pelembagaan menjadi sesuai dengan keadilan. (Rena Yulia, 2010 : 164)
Dalam rangka menjadikan keadilan substantif sebagai inti pengadilan yang dijalankan di Indonesia, Mahkamah Agung (MA) memegang peranan yang sangat penting. Sebagai puncak dari badan pengadilan, ia memiliki kekuasaan untuk mendorong pengadilan dan hakim di negeri ini untuk mewujudkan keadilan yang progresif tersebut.
Sekarang, di tengah-tengah usaha untuk memulihkan citra hukum di Indonesia, terbuka peluang besar bagi Mahkamah Agung (MA) untuk memelopori pengadilan yang berjalan progresif. Dalam kaitan itu, Mahkamah Agung (MA) perlu mendorong dan membersarkan hati para hakim yang berani mewujudkan keadilan yang progresif tersebut.
Pengadilan dan sistem pengadilan di Indonesia sebaiknya memanfaatkan berbagai kelebihannya, karena tidak menggunakan adversary system, dimana hakim berperan aktif sehingga dapat menghindari berbagai kelemahan hakim yang frustasi karena kehilangan kendali tersebut di atas. Apabila oleh para pengkritiknya dikatakan bahwa hukum di Amerika Serikat mengalami frustasi karena kehilangan kendali dalam mewujudkan keadilan, di Indonesia hakim justru berperan kuat. Maka progresivitas pengadilan di negeri ini untuk sebagian, penting ditentukan oleh apa yang dilakukan para hakimnya.
Hakim menjadi faktor penting dalam menentukan, bahwa pengadilan di Indonesia bukanlah suatu permainan untuk mencari menang, melainkan mencari kebenaran dan keadilan. Kita akan menjadi semakin jauh dari cita-cita “pengadilan yang cepat, sederhana, dan biaya ringan” apabila membiarkan pengadilan didominasi oleh “permainan” prosedur.
Dalam hal proses peradilan pidana anak, seringkali anak-anak tidak seringkali tidak diperhatikan hak-haknya sehingga perlu mendapat bantuan dan perlindungan dalam pelaksanaan hak dan kewajibannya. Jadi perlindungan anak antara lain meliputi pula perlindungan terhadap pelaksanaan hak dan kewajiban anak secara seimbang dan manusiawi. Proses peradilan anak harus pula diamati dan dipahami menurut proporsi yang sebenarnya secara dimensional (sesuai dengan hakikat), oleh karena permasalahan ini adalah suatu hasil interaksi karena adanya interrelasi antara fenomena yang ada dan saling mempengaruhi. Semua pihak harus dilibatkan sesuai dengan kemampuan masing-masing, dimana masing-masing mempunyai hubungan fungsional bahkan mempunyai tanggung jawab fungsional dalam hal-hal tertentu.

Kondisi sistem peradilan di Indonesia saat ini sudah tidak sesuai dengan asal usul tugas dan fungsi dari sebuah peradilan itu sendiri. Oleh karena itu merupakan sebuah lembaga yang menjadi andalan dari sebuah masyarakat dan menjadi sebuah tumpuan dan harapanterakhir bagi merekayang mencari keadilan dan kepastian hukum.
Saat ini keadilan hukum yang terjadi di Indonesia merupakan sebuah keadilan yang retributif yaitu sebuah keadilan yang hanya memfokuskan pada pertahanan hukum dan Negara. Selain itu keadilan yang diberikan hanya pemberian dan penghukuman kepada pelakunya saja dan pertanggungjawaban kepada korbannya itu belum ada. Sehubungan dengan adanya Undang – Undang nomor 13 tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban menyatakan bahwa seorang korban mendapat perlindungan melalui sebuah lembaga yang dinamakan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), yang memiliki tugas dan wewenang yaitu : untuk memberikan perlindungan dan hak – hak lain kepada saksi dan/ atau korban sebagaimana diatur di dalam undang – undang itu.
Perlindungan yang diberikan oleh Lembaga Saksi dan Korban (LPSK) pada korban berupa :
1.Penghargaan atas harkat dan martabat manusia
2.Rasa aman
3.Keadilan
4.Tidak diskriminatif
5.Kepastian hukum
Keadaan yang terjadi saat ini, bahwa walaupun ada sebuah lembaga yang menangani mengenai korban, akan tetapi di dalam fakta yang terjadi seorang korban dari tindak pidana tersebut tidak mendapatkan perlindungan yang sesuai dengan peraturan perundang – undangan yang telah diatur.
Banyaknya kasus pidana yang sering mengusik rasa keadilan selalu menjadi perhatian masyarakat. Salah satunya yang menimpa seorang bocah berinisial AAL yang dituduh mencuri sandal seorang anggota polisi.[http://www.kemenkumham.go.id/berita-utama/544-menkumham-dorong-penerapan-keadilan-restoratif diakses tanggal 07 april 2012]. Dari kasus yang terjadi pada seorang anak tersebut dapat dilihat bahwa keadilan retributif atau keadilan yang terjadi dan diterapkan di Negara Indonesia ini kurang tepat. Oleh karena itu perlunya penerapan keadilan restoratif agar keadilan dan kepastian hukum yang ada bisa tercipta dan sesuai dengan keadilan di masyarakat.
Sebuah keadilan restoratif seharusnya dapat diterapkan agar lebih melindungi korban dengan meminta pertanggungjawaban oleh pelaku. Keadilan restoratif itu memiliki penerapan yang dilakukan dengan cara melakukan musyawarah, pendekatan kekeluargaan antara pelaku, korban, dan masyarakat sehingga sedapat mungkin menghindarkan anak dari lembaga peradilan. Serta para penegak hukum memiliki peran lain yaitu sebagai penengah dalam suatu keadilan restoratif tersebut. Korban harus didukung dan dapat dilibatkan secara langsung dalam proses penentuan kebutuhan dan hasil akhir dari kasus tindak pidana yang dialaminya. Pelaku tindak pidana harus direhabilitasi dan direintegrasikan dalam masyarakat, sehingga terjadi pertukaran informasi dan kesepakatan yang saling menguntungkan di antara kedua pihak yang bersangkutan sebagai hasil dari penyelesaian tindak pidana yang terjadi.
Perspektif restoratif memandang kejahatan, meskipun kejahatan dilakukan juga melanggar hukum pidana, aspek yang lebih penting bukan perbuatan pelanggarannya tetapi proses penimbulan kerugian kepada korban kejahatan, masyarkat dan sebenarnya juga melanggar kepentingan pelanggar itu sendiri. Bagian-bagian yang penting ini sebagian besar telah dilupakan oleh sistem peradilan pidana menurut perspektif retributif. (Rena Yulia, 2010 : 191)
Proses keadilan restoratif pada dasarnya merupakan upaya pengalihan dari proses peradilan pidana menuju penyelesaian secara musyawarah, yang pada dasarnya merupakan jiwa dari bangsa Indonesia, untuk menyelesaikan permasalahan dengan cara kekeluargaan untuk mencapai mufakat. Keadilan restoratif merupakan langkah pengembangan upaya non-penahanan dan langkah berbasis masyarakat bagi anak yang berhadapan dengan hukum. Keadilan restoratif dapat menggali nilai-nilai dan praktek-praktek positif yang ada di masyarakat yang sejalan dengan penegakan hak asasi manusia.
Pendekatan keadilan restoratif dalam penanganan tindak pidana juga bertujuan untuk menghindarkan pelakunya dari proses pemidanaan yang terkadang dirasakan belum dapat mencerminkan nilai-nilai keadilan. Dalam upaya penegakan hukum pidana, semestinya bukan hanya akibat tindak pidana itu yang menjadi fokus perhatian, tetapi satu hal penting yang tidak boleh diabaikan adalah faktor yang menyebabkan seseorang melakukan tindak pidana.
Sasaran dari proses peradilan pidana menurut perspektif keadilan restoratif adalah menuntut pertanggungjawaban pelanggar terhadap perbuatan dan akibat-akibatnya, yakni bagaimana merestorasi penderitaan orang yang terlanggar haknya (korban) seperti pada posisi sebelum pelanggaran dilakukan atau kerugian terjadi, baik aspek materiil maupun aspek immateriil.
Konsep keadilan restoratif sebenarnya telah lama dipraktekkan masyarakat adat Indonesia, seperti di Papua, Bali, Toraja, Minangkabau dan komunitas tradisional lain yang masih kuat memegang kebudayaannya. Apabila terjadi suatu tindak pidana oleh seseorang (termasuk perbuatan melawan hukum yang dilakukan anak), penyelesaian sengketa diselesaikan di komunitas adat secara internal tanpa melibatkan aparat negara di dalamnya. Ukuran keadilan bukan berdasarkan keadilan retributif berupa balas dendam atau hukuman penjara, namun berdasarkan keinsyafan dan pemaafan.[http://www.kemlu.go.id/canberra/Lists/LembarInformasi/Attachments/61/Restorative%20Justice,%20Diversionary%20Schemes%20and%20Special%20Children%E2%80%99s%20Courts%20in%20Indonesia.pdf , diakses padaa tanggal 7 April 2012]
Dalam penanganan Anak yang Berhadapan dengan Hukum (ABH), konsep pendekatan keadilan restoratif menjadi sangat penting karena menghormati dan tidak melanggar hak anak. Keadilan restoratif setidak-tidaknya bertujuan untuk memperbaiki/memulihkan (to restore) perbuatan kriminal yang dilakukan anak dengan tindakan yang bermanfaat bagi anak, korban dan lingkungannya. Anak yang melakukan tindak pidana dihindarkan dari proses hukum formal karena dianggap belum matang secara fisik dan psikis, serta belum mampu mempertanggungjawabkan perbuatannya di depan hukum. Keadilan restoratif adalah konsep pemidanaan, tetapi sebagai konsep pemidanaan tidak hanya terbatas pada ketentuan hukum pidana (formal dan materil). Keadilan restoratifharus juga diamati dari segi kriminologi dan sistem pemasyarakatan. (Bagir Manan, 2008 : 4)
Pelaksanaan mediasi penal sebagai instrumen hukum keadilan restoratif adalah diskursus baru dalam sistem hukum Indonesia yang menawarkan solusi yang komprehensif dan efektif dalam menangani permasalahan ABH, walaupun mediasi sebenarnya bukanlah metode penyelesaian sengketa yang baru dalam sistem hukum Indonesia. Hukum acara perdata kita sudah mengenal adanya suatu Lembaga Damai untuk menyelesaikan sengketa perdata lebih dari seratus tahun lalu. Sifat dasar dari mediasi juga sama dengan mekanisme musyawarah. Karena itu penggunaan mediasi penal diharapkan bisa diterima kalangan professional hukum dan masyarakat umum dengan baik dan berjalan secara efektif.
Dengan pendekatan keadilan restoratif, banyak pihak yang akan memperoleh manfaatnya, adapun manfaat langsung yang dapat diperoleh pelaku tindak pidana adalah terkait dengan pemenuhan dan perlindungan atas hak-haknya dan mendidiknya untuk menjadi orang yang bertanggungjawab atas kerusakan yang telah dibuat-nya. Selanjutnya terhadap korban, dapat memperoleh ganti kerugian untuk memperbaiki semua kerusakan atau kerugian yang dideritanya akibat perbuatan yang dilakukan oleh pelaku. Manfaat yang lebih besar lagi adalah bagi masyarakat sendiri, karena masyarakat akan lebih terlindungi dari kemungkinan terjadinya tindak pidana aksi kerusuhan pada masa akan datang atau paling tidak intensitas terjadinya tindak pidana dapat berkurang.
Keadilan restoratif ini memiliki kelebihan dibandingkan dengan keadilan restributif yaitu :
1.Memperhatikan hak – hak semua elemen pelaku, korban, dan masyarakat.
2.Berusaha memperbaiki kerusakan atau kerugian yang ada akibat tindak pidana yang terjadi.
3.Meminta pertanggungjawaban langsung dari seorang pelaku secara utuh sehingga korban mendapatkan apa yang seharusnya menjadi haknya.
4.Mencegah untuk terjadinya tindak pidana yang berikutnya.
Keadilan restoratif ini memang perlu untuk diterapkan demi terciptanya sebuah keadilan dan kepastian hukum yang diperlukan oleh masyarakat ini. Akan tetapi tidak mengubah sebuah keadilan retributif yang telah berkembang pada masyarakat saat ini.
Pendekatan keadilan restoratif perlu dilakukan karena selain sebagai sarana untuk menertibkan kehidupan masyarakat, juga sebagai sarana yang mampu mengubah pola pikir dan perilaku warga serta melindungi kepentingan setiap anggota masyarakatnya. Pendekatan ini dilakukan dalam rangka memberikan perlindungan hukum bagi setiap warga masyarakat. Melalui pendekatan keadilan restoratif, diharapkan dapat tercapai proses keadilan yang sepenuhnya sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan ditujukan untuk dilakukannya kembali tindak pidana.
Keadilan restoratif juga diharapkan dapat memberikan rasa tanggung jawab sosial pada pelaku dan mencegah stigmatisasi pelaku di masa yang akan datang. Dengan demikian konsep keadilan restoratif ini diharapkan paling tidak bisa membatasi perkara, khususnya perkara anak, dan bisa dijadikan solusi dalam pencegahan kejahatan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline