Lihat ke Halaman Asli

Keadilan di Dalam Lembaga Hukum

Diperbarui: 25 Juni 2015   06:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di dalam rumusan sila kedua dan sila kelima Pancasila, terdapat kata “keadilan” yang menunjukkan bahwa memang keadilan itu harus ditegakkan dan dijunjung tinggi. Penegakan keadilan dalam kehidupan bermasyarakat memiliki arti penting dalam salah satu upaya membangun peradaban bangsa yang tinggi dan bermartabat. Tidak akan maju peradaban dari suatu bangsa apabila tidak didasarkan atas peri kehidupan berkeadilan.
Keadilan adalah tujuan akhir dari sebuah sistem hukum, yang terkait erat dengan fungsi sistem hukum sebagai sarana untuk mendistribusikan dan memelihara suatu alokasi nilai-nilai dalam masyarakat, yang ditanamkan dengan suatu pandangan kebenaran, yang secara umum merujuk kepada keadilan.[1] Terkadang hukum positif tidak sepenuhnya menjamin rasa keadilan, dan sebaliknya rasa keadilan seringkali tidak memiliki kepastian hukum, sehingga komprominya adalah bagaimana agar hukum positif yang ada selalu merupakan cerminan dari rasa keadilan itu.[2]
Keadilan ini adalah ihwal yang mendasar bagi bekerjanya suatu sistem hukum. Sistem hukum tersebut sesungguhnya merupakan struktur atau kelengkapan saja untuk mencapai konsep keadilan yang telah disepakati bersama.[3]
Dalam sistem hukum di mana pun di dunia, keadilan selalu menjadi objek perburuan, khususnya melalui lembaga pengadilannya. Dari pengamatan terhadap sistem hukum di dunia, hampir tidak ada negara yang benar-benar telah puas dengan sistem hukum yang digunakannya. Oleh karena itu, perombakan, pembaruan atau reform, dapat kita lihat terjadi dari waktu ke waktu di berbagai negara. Bahkan, Amerika Serikat (AS) yang sering “dijagokan”, sampai sekarang masih terus gelisah menginginkan pembaruan.
Pembaruan tersebut datang tidak lain karena negara yang bersangkutan merasa ada yang kurang benar pada sistem yang dipakainya untuk berburu keadilan tersebut. Di AS, ketidakpuasan tersebut antara lain dirumuskan dalam berbagai ungkapan yang dramatis, seperti the collapse of the American criminal justice system (ambruknya sistem peradilan pidana Amerika) dan the expensive failure of the American criminal trials (kegagalan yang mahal dari pengadilan pidana AS). Ternyata keambrukan tersebut berhubungan juga dengan fokus yang tidak jelas mengenai keadilan.
Sistem atau penyelenggaraan hukum di Indonesia dewasa ini dalam suasana keambrukan. Hal yang paling sering disoroti adalah kinerja pengadilan atau sistem peradilan kita yang jauh dari memuaskan. Tetapi sebetulnya, fokus keambrukan itu lebih luas daripada hanya di pengadilan. Berdasarkan pengalaman di negara lain, fokus perhatian ingin diarahkan pada konsep kita tentang keadilan dan apa yang perlu diperbaiki.
Sejak hukum modern memberi peluang besar terhadap berperannya faktor prosedur, atau formalitas, atau tata cara dalam proses hukum, perburuan terhadap keadilan menjadi sangat rumit. Indonesia dewasa ini berada di tengah-tengah krisis dan keterpurukan hukum. Kerusakan dan kemerosotan dalam perburuan keadilan melalui hukum modern disebabkan permainan prosedur yang menyebabkan timbulnya pertanyaan “apakah pengadilan itu tempat mencari keadilan atau kemenangan?”. Lagi-lagi di sini AS dipakai sebagai contoh, karena sistem negeri itu sangat maju dalam mengunggulkan prosedur tersebut. Amerika dan Inggris sama-sama menggunakan adversary system, tetapi disbanding Inggris rupa-rupanya Amerika sudah bergerak kea rah ekstrim (extreme adversary system).
Indonesia sebetulnya juga sudah melakukan hal-hal yang memuat keburukan dari sistem Amerika, antara lain dalam pengadilan kasus-kasus korupsi sekarang ini. Apakah kita akan meneruskan praktik seperti itu? Apakah memang begitukah wujud reformasi hukum dan kredo supremasi hukum kita? Apakah kita tidak tergerak untuk melakukan perombakan dalam sistem (penegakan) hukum kita. Di mana kepedulian kita terhadap rakyat dan bangsa yang sedang menderita itu?[4]
Kendati hukum Indonesia dalam keadaan sangat terpuruk, tetapi setidaknya ia masih juga memberikan berkah, yaitu memberi peluang kepada kita untuk melakukan pembaruan dan perombakan secara tidak tanggung-tanggung. Pembaruan yang tidak setengah-setengah ini adalah dengan melakukan konseptualisasitentang keadilan yang pada gilirannya akan menggerakkan seluruh sistem hukum kita. Semua itu dilakukan dalam kerangka mewujudkan suatu pembaruan lebih besar menuju penegakan hukum atau penyelenggaraan hukum yang progresif.
Merumuskan konsep keadilan progresif dapat dimulai dari mengenali sisi kebalikannya, yaitu keadilan yang tidak progresif. Sebagai akibat dari hukum modern yang memberikan perhatian besar terhadap aspek prosedur, kita dihadapkan pada pilihan besarantara pengadilan yang menekankan pada prosedur atau pada substansi. Antara keadilan prosedural atau keadilan substantif.
Telah dicontohkan tentang bagaimana pengadilan di AS sangat dibebani keharusan untuk mengunggulkan prosedur di atas keadilan dan kebenaran (heavily proceduralized). Maka pengadilan di situ menjadi kehilangan fokus ketika dihadapkan pada persoalan tentang tujuan dari pengadilan itu sendiri. Dikatakan, betapa hakim AS menjadi frustasi karena harus menyerahkan “arah penyelesaian” kepada “perang” antara jaksa dan pembela, sebagai model extreme adversary system. Hakim kehilangan kendali dan tidak bertanggung jawab terhadap hasil dari pengadilan. Model serta proses mengadili seperti itulah yang cenderung menghasilkan “pengadilan tanpa keadilan”.[5]
Diproyeksikan pada model di atas, maka keadilan progresif adalah bukan keadilan yang menekankan pada prosedur (keadilan prosedural), melainkan keadilan substantif. Mempraktikkan keadilan yang sarat dengan muatan prosedur seperti di AS, menjadi terlalu mahal bagi Indonesia, baik dalam bilangan materi maupun kegagalan memberikan keadilan. Kita menginginkan keadilan substantif menjadi dasar dari negara hukum kita, karena itu prospek yang sangat baik untuk membahagiakan bangsa kita. Negara hukum Indonesia hendaknya menjadi negara yang membahagiakan rakyatnya dan untuk itu di sini dipilih konsep keadilan yang progresif, yang tidak lain adalah keadilan substantif tersebut.
Dalam rangka menjadikan keadilan substantif sebagai inti pengadilan yang dijalankan di Indonesia, Mahkamah Agung (MA) memegang peranan yang sangat penting. Sebagai puncak dari badan pengadilan, ia memiliki kekuasaan untuk mendorong pengadilan dan hakim di negeri ini untuk mewujudkan keadilan yang progresif tersebut.
Di sisi lain, MA hendaknya juga berani secara terang-terangan menilai bagus dan mengacungkan jempol kepada hakim-hakim yang berani menyampingkan hal-hal yang bersifat prosedural belaka.
Sekarang, di tengah-tengah usaha untuk memulihkan citra hukum di Indonesia, terbuka peluang besar bagi MA untuk memelopori pengadilan yang berjalan progresif.
Dalam kaitan itu, MA perlu mendorong dan membersarkan hati para hakim yang berani mewujudkan keadilan yang progresif tersebut. Janganlah MA kita melakukan hal-hal yang dijalankan oleh Supreme Court AS, yang dikritik sebagai suatu lembaga yang telah gagal untuk menjadikan pengadilan benar-benar sebagai hall of justice (rumah keadilan).
Pengadilan dan sistem pengadilan di Indonesia sebaiknya memanfaatkan berbagai kelebihannya, karena tidak menggunakan adversary system, dimana hakim berperan aktif sehingga dapat menghindari berbagai kelemahan hakim yang “frustasi karena kehilangan kendali” tersebut di atas. Apabila oleh para pengkritiknya dikatakan bahwa hukum di AS mengalami frustasi karena kehilangan kendali dalam mewujudkan keadilan, di Indonesia hakim justru berperan kuat. Maka progresivitas pengadilan di negeri ini untuk sebagian, penting ditentukan oleh apa yang dilakukan para hakimnya.
Hakim menjadi faktor penting dalam menentukan, bahwa pengadilan di Indonesia bukanlah suatu permainan untuk mencari menang, melainkan mencari kebenaran dan keadilan. Kita akan menjadi semakin jauh dari cita-cita “pengadilan yang cepat, sederhana, dan biaya ringan” apabila membiarkan pengadilan didominasi oleh “permainan” prosedur.
Kita seharusnya dapat menghindari keadaan (over) proceduralized, sehingga pengadilan akan bergeser menjadi ajang permainan untuk mencari menang. Model proses mengadili yang disebut fair trial di negeri ini hendaknya berani ditafsirkan sebagai pengadilan di mana hakim memegang kendali aktif untuk mencari kebenaran.[6]

[1] Lawrence M.Friedman, The Legal System : A Social Science Perspective, Rusell Sage Foundation, New York 1975, hlm 17-18

[2] Dyah Octorina dan IGN Parikesit, Op.Cit., hlm 8

[3] Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, Kompas, Jakarta, 2007, hlm 270

[4] Ibid, hlm 271-272

[5] Ibid, hlm 274

[6] Ibid, hlm 274-276

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline