Pernahkah kompasioner mendengar istilah 'balimau'? Bagi yang berada di wilayah Sumatra Barat tentu tidak asing lagi. Kalau sudah menginjak h-1 bulan Ramadhan, langsung saja keluar pertanyaan familiar dari mulut ke mulut.
Kama balimau, Ni? - (Mau pergi balimau ke mana, Kak?)
Kama balimau, Da? - (Mau pergi balimau ke mana, Bang?)
Alah balimau bagai? - (Nggak pergi balimau, ni?)
Balimau itu sendiri ternyata punya nilai tradisional yang dijaga selama turun temurun. Secara bahasa, balimau sama halnya dengan mandi yang bertujuan membersihkan diri. Potongan suku kata 'limau' itu sendiri berarti jeruk dalam bahasa Minang. Kalau di-Indominang-kan ya jadinya 'berjeruk' yang berarti menggunakan atau memakai jeruk. Maka secara istilah, balimau adalah mandi atau membersihkan diri menggunakan jeruk. Jeruk yang digunakan tentu bukan yang biasa kita makan, namun lebih kepada jeruk yang digunakan ketika memasak hidangan, yaitu jeruk nipis. Korelasinya, pada setiap iklan pembersih piring atau peralatan dapur, jeruk nipis selalu menjadi ingredient utama untuk membersihkan lemak dan kotoran-kotoran lain yang menempel, oleh sebab itu, supaya manusia dapat menyucikan diri secara sempurna, digunakanlah jeruk nipis sebagai media.
Tahu acara siraman pengantin Jawa yang biasa dilaksanakan para selebriti di TV kan, kompasioner? Nah, komposisi air yang digunakan untuk balimau ini bisa dibilang mirip alias dicampur dengan bahan-bahan lain. Selain jeruk nipis, bahan pencampur itu, dikutip dari berbagai sumber, di antaranya gambelu (sejenis tumbuhan menyerupai lengkuas), asam, dan daun pandan. Gambelu dan teman-temannya ini dengan mudah dapat ditemui di pasar raya dengan harga yang terjangkau pula.
Dewasa ini, tradisi balimau memang masih ada, namun sudah dimaknai secara berbeda. Tidak lagi mengandung unsur unsur tradisional seperti menggunakan air yang bercampur bahan-bahan sebagaimana disebutkan di atas, hanya sekedar air biasa saja. Ada yang ke pemandian umum seperti sungai, mandi beramai-ramai (tetap menggunakan pakaian tertutup). Ada pergeseran makna, di mana dulu benar benar dilaksanakan sebagai ajang mensucikan diri, sementara zaman sekarang lebih kepada euforia-nya semata.
Terlepas daripada itu, mau balimau atau tidak, dikembalikan kepada pribadi masing-masing, karena semua berangkat dari tradisi, bukan kewajiban. Mengerjakan boleh, tidak mengerjakan pun tidak apa-apa. Yang penting, jangan mencampurbaurkan balimau dengan hal-hal negatif yang akan menjerumuskan kita dalam jurang dosa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H