Lihat ke Halaman Asli

Saya Menyebutnya, 'Evolusi Kedewasaan'

Diperbarui: 24 Juni 2015   15:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13656461441360869498

Here we go again..

Malem-malem, mandangin layar putih di Laptop, dengan jari yang mulai sibuk ngetikkin tuts di keyboard.

Kalau tulisan ini berhasil di posting, berarti ini jadi tulisan pertama setelah sekian lama vakum dari dunia tulis-menulis.

Kadang ada temen-temen yang merhatiin address blog ini di twitter, dan ngecek-ngecek tulisan saya di Kompasiana ini. Terus kadang mereka suka nanya, “Kenapa berenti nulis?”. Jawab saya cuma, “ga tau..” Ya, itu dia… ga tau aja mau nulis apa di blog.

Terus kenapa sekarang mau nulis lagi?

Ga tau kenapa, tapi beberapa minggu terakhir ini rasanya pengen nulis aja. Tapi terlalu males untuk “merajut” kata-kata dan pikiran, dan.. mood. Sampai pada beberapa hari yang lalu, seorang teman baik datang ke saya, dan bilang dia habis nangis.

Enggak terlalu prihatin waktu denger dia nangis, karna teman saya ini tipe melankolis. Apapun bisa ditangisin. Yang bikin saya agak surprised adalah ketika mendengar alasan dia menangis.

Permasalahannya simple:

Teman saya ini di taksir oleh dua pria!

Pada line ini, anda akan mulai berpikir “aah tulisannya cheesy! Pasti curhatan lebay anak SMA lagi”

Pertama, saya bukan anak SMA.

Kedua, semua hal yang melibatkan perasaan di dalamnya, bisa disebut sebagai “masalah”.

Jadi memang, yang dialami oleh teman saya memang merupakan suatu masalah.

Sebagai seorang perempuan, dengan umur yang hampir mendekati 30, dan tinggal di negara yang masyarakatnya gemar mengintervensi kehidupan pribadi orang lain dengan pertanyaan “KAPAN?” (KAPAN nikah?/KAPAN punya anak?/KAPAN anaknya nambah?/KAPAN punya mantu?/dst..), ia masih harus terlibat kedalam satu dilemma hubungan antara pria-pria nya.

Berdasarkan penjelasannya, kira-kira seperti inilah gambaran mengenai dua pria yang diam-diam saling memperebutkan perhatian teman saya itu..

Pria pertama (A):

Good looking, belum terlalu mapan, traveler, menyenangkan, talkative, humoris, dan selalu bisa membuat teman saya merasa senang.

Pria kedua (B):

Mendekati good looking, mapan, agak cuek, pekerja keras, pendiam, pembawaannya tenang, dan ngemong (dewasa).

Selama beberapa minggu saya perhatikan sii Pria A hampir selalu di mention dalam ceritanya.

Pada saat yang bersamaan, sii Pria B selalu ada setiap kali dibutuhkan (baca: nganter kesana-kemari).

Pada saat itu saya yakin, pasti dia akan lebih memilih sii A.

Kenapa?

Karena, menjalani hubungan “roller coaster” itu adalah hal yang menyenangkan.

Lebih menyenangkan ketimbang menjalani hubungan yang selalu bisa ditebak.

Hal itulah yang terjadi pada teman saya.

Sementara kata-katanya memuji sii Pria A, diam-diam hatinya sudah mantap akan sii Pria B.

Ketika saya sudah sangat yakin sii Pria B akan segera meresmikan hubungan mereka, berpacaran, melamar, menikah, dan membentuk keluarga kecil dengan teman saya, disinilah Tuhan mulai memainkan kuasa-nya. Yeah, right! What’s life without drama??

Pada suatu hari yang sama seperti hari-hari baik sebelumnya, sii Pria B menghubungi teman saya, dan bilang “kamu harus move on. Aku takut sikap cuek aku ke kamu jadi nambah, karna sekarang ini aku lagi fokus sama usaha aku”.

“kenapa dia ga usaha? Ngapain kek.. pertahanin gw. Bikin gw percaya klo hubungan kita ini bakal berhasil dan baik-baik aja”, begitu kata teman saya pasca menangis.

Respon pertama saya adalah, “hhmmm…”

Kenapa? Karena alasannya seperti anak SMP/SMA ketika mereka diajakin pacaran sama orang yang enggak mereka suka: “maaf ya, aku lagi pengen fokus sama pelajaran dulu”, dan sebulan kemudian mereka jadian sama orang yang udah lama ditaksir…

Tapi ga mungkin alasan sii Pria B sama dengan alasan “ngelesnya” anak-anak SMP/SMA itu…

Setelah mengingat usaha sii Pria B untuk mendekati teman saya ini, akhirnya saya putuskan, kalau keputusannya untuk meninggalkan teman saya merupakan keputusan yang paling tidak egois.

Diam-diam saya memutuskan dia adalah pria dewasa, baik, bertanggung jawab, dan seperti kebanyakan pria lainnya, dia tidak memiliki kemampuan multitasking.

Sii Pria B hanya bisa fokus pada satu hal saja: merintis bisnis barunya, atau merintis calon keluarga barunya dengan teman saya.

Seperti layaknya manusia normal lainnya, saya mengajukan pria cadangan untuk membantunya move on, yaitu.. tak lain dan tak bukan, adalah sii Pria A.

“Mungkin ga sih, ini tuh pertanda? Kamu kan udah lama dan cukup sering mention sii Pria A, tapi belom ada kesempatan untuk pacaran sama dia. Mungkin ini pertanda, kamu harus nyoba dulu sama dia, and see if its work. Karena seandainya hubungan kamu dan sii Pria A ga berhasil, setidaknya, kamu udah nyoba.  Jadi ga penasaran”. Kurang lebih itulah saran jahat saya.

Kemudian teman saya bilang, “aku suka sama sii Pria A. dia… selalu ngelakuin hal-hal yang ga pernah gw sangka. Bayangin deh, waktu gw mau keluar kota, sementara sii Pria B ngebeliin persediaan obat-obatan, sii Pria A malah ngebeliin gw makanan kucing. Itu kan sweet banget! Dia tau banget aku sayang sama kucing-kucing aku!”

Kalimat respon pertama saya, “meeen…. yang begini-begini ini nih yang bisa bikin orang hobi cerai”

Teman saya masih bercerita, “sii Pria A juga paling bisaaaaa banget bikin gw ngerasa seneng. Gausah ngapain-ngapain, ada disebelah dia aja gw udah seneng!”

Saya bilang, “tuh kaan, gayung bersambut.. Yaudah, kamu coba aja tuh..”

Teman saya: Ga bisa… aku udah patah hati waktu sii Pria B suruh move on. Kamu tau ga, kalau aku lagi sama sii Pria B, kita ga perlu banyak komunikasi. Aku diem aja, dia udah ngerti sama maunya aku.

Waktu aku lagi sama sii Pria B, aku ga ngerasain seneng banget kaya lagi sama sii Pria A, tapi aku tau… enggak! Aku yakin, aku yakin semuanya bakal baik-baik aja.

Nah.. itu dia alasan saya menulis tulisan ini.

Satu momen dan beberapa kalimat yang simple, tapi sangat ingin saya posting di blog usang ini.

Pada 2-3 detik itu saya menjadi seorang saksi.

Melihat, mendengar, merasakan, dan menyimpulkan bahwa teman saya telah mengalami apa yang saya sebut dengan “evolusi kedewasaan”.

Mungkin term-nya terdengar kurang kece.  Tapi toh Edison dulu juga diketawain waktu mau bikin bola lampu.

Anyway, apapun yang terjadi esok antara teman saya dan pria-pria nya, sudah bukan menjadi urusan saya lagi. Bagaimanapun endingnya, saya hanya mengharapkan yang terbaik.

Sebelum menyudahi tulisan cheesy ini, izinkan saya meralat kalimat yang saya tulis pada beberapa paragraf sebelumnya.

Sebelumnya saya menyebutkan “menjalani hubungan roller coaster dengan seorang pria itu menyenangkan”

Ralat: cukup menyenangkan

Tambahan: cukup menyenangkan, hingga seorang perempuan sampai pada satu fase tertentu, dan memutuskan untuk lebih memilih hubungan yang lebih stabil dan masuk di akal.

Terimakasih.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline