Lihat ke Halaman Asli

Mempertanyakan Komunisme

Diperbarui: 26 Juni 2015   03:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13103734141549920450

Beberapa menit setelah selesai membaca ‘Angsa-Angsa Liar’, sebuah buku luar biasa yang ditulis oleh Jung Chang, memaksa saya mengingat-ingat kembali beberapa hal yang pernah saya baca dan dengar mengenai komunis.

[caption id="attachment_121997" align="aligncenter" width="300" caption="Angsa-Angsa Liar (Wild Swans)"][/caption]

Bagi teman-teman sekolah seangkatan saya, ‘komunis’ diidentikkan erat dengan apa yang terjadi di Indonesia pada tahun 1960. Mungkin ketika kami kelas 4 atau 5 SD, guru-guru kami menceritakan mengenai hal-hal yang tidak berkemanusiaan yang dilakukan oleh partai komunis ditahun 1960-an. Partai politik beraliran sosialis itu adalah Partai Komunis Indonesia. Kami dibuat takut dengan cerita-cerita yang disampaikan oleh guru kami dan dengan apa yang ditulis pada buku-buku cetak sejarah kami. Dan untuk beberapa waktu, saya merasa sangat membenci PKI, dan mempertanyakan tentang apa itu sosialisme atau komunisme adalah hal yang salah.

Seiring dengan semakin berkembangnya teknologi dan informasi, dengan cepat saya mulai mempertanyakan keabsahan informasi yang selama ini saya terima, diantaranya adalah: ’apakah benar PKI telah melakukan kudeta?’ dan ’benarkah mereka melakukan pembunuhan yang sedemikian kejamnya terhadap para Jenderal?’. Dan akhirnya saya sampai pada kesimpulan bahwa pilihan jawaban ’ya’ dan ’tidak’tidak akan pernah cukup untuk menjawab pertanyaan seperti itu.

Buku yang ditulis oleh Jung Chang dapat dianggap sebagai perkenalan kedua saya terhadap komunisme. Tulisannya membawa saya ke Negeri China yang ceritanya difokuskan ketika terjadinya perang saudara di wilayah tersebut, antara Kuomintang dan Komunis. Angsa-Angsa Liar (Wild Swans) menceritakan tentang kehidupan tiga generasi perempuan dikeluarganya yang selama perjalanan hidupnya, melakukan gebrakan terhadap kebudayaan-kebudayaan China. Jung Chang sendiri lahir ketika komunis berada dalam masa kejayaannya. Ayah dan ibunya adalah orang yang menduduki posisi penting di pemerintahan wilayahnya. Namun situasi berubah 180 derajat ketika pada tahun 1965, Revolusi Kebudayaan yang diprakarsai oleh Mao Tse-Tung, terjadi. Keluarganya tercerai berai dan mengalami tekanan secara mental dan fisik selama sepuluh tahun terjadinya Revolusi Kebudayaan.

Mungkin yang paling membuat saya terkesan dengan buku ini adalah kemampuan si penulisnya dalam memasukkan hal-hal yang sangat detail (yang saya yakin berhasil diperolehnya setelah melakukan riset yang teliti dan sabar), dan ceritanya yang mengalir seperti sebuah dongeng. Dibagian ketika penulis menceritakan saat-saat berat yang dialami ibunya atau keluarga mereka, ia dapat menceritakannya dengan ’datar’ yang kadang justru menunjukkan selera humornya yang baik, atau kadang menyentuh emosi saya pada beberapa bagian.

Setelah saya selesai membacanya, saya kembali memikirkan, apa yang sebenarnya telah dilakukan oleh komunisme, sehingga ideologi tersebut seringkali menciptakan kehancuran dimana-mana sepanjang perjalanannya.

Jika di Indonesia Soeharto menggunakan euforia kebencian masyarakat terhadap PKI untuk dapat naik ke tampuk kekuasaan yang lebih tinggi dan absolut, di China Mao Tse-Tung menggunakan prinsip-prinsip sosialisme (komunisme) agar dapat menjalankan China seperti yang selalu ia inginkan. Dan ia telah sangat berhasil mencapai cita-citanya yang tertinggi, terbukti dengan terjadinya dua kali usaha ’pembersihan’ terhadap orang-orang yang dianggap beraliran kanan, dan salah satunya adalah peristiwa Revolusi Kebudayaan. Untuk dapat mencapai cita-citanya yang tertinggi, yaitu menjadi penguasa absolut, ia harus mengorbankan 900 juta rakyat China pada saat itu, dan memancing keluarnya sifat tidak manusiawi mereka, ketika mereka harus saling menyerang satu sama lain, untuk dapat tetap bertahan hidup.

Karl Marx adalah orang yang dianggap paling berperan terhadap lahirnya sosialisme. Ia merasa prihatin dengan standart kehidupan kaum buruh (proletar) yang demikian rendahnya. Sedangkan bagi para tuan tanah (borjuis), mereka selalu berlimpah harta dan kekayaan. Ia merasa perlu adanya reformasi pada sistem yang ada pada saat itu. Dengan tujuan untuk memperjuankan hak-hak kaum buruh, sosialisme muncul, dan dengan segera mengambil tempat yang berlawanan dengan kapitalisme. Cita-cita Sosialisme yang paling utama adalah menghapuskan kelas-kelas yang terdapat pada masyarakat. Menurutnya, jika setiap orang dipandang dan dihargai setara, maka keadilan pasti akan terciptanya. Namun sayangnya, Marx meninggal sebelum dapat menjelaskan secara lebih detail, bagaimana cara untuk mencapai ”negara tanpa kelas” tersebut. Meskipun ide Marx pada masa itu dianggap aneh dan menyimpang, tetapi diam-diam orang-orang mulai mengagumi pemikirannya. Friedrich Engels salah seorang tokoh sosialis juga, dan sekaligus teman baiknya, mengatakan bahwa pemikirannya akan kekal sepanjang masa, pada hari ketika Marx meninggal.

Buku karangan Marx yang paling terkenal adalah Das Capital. Buku ini selalu disebut-sebut dalam setiap buku yang menceritakan tentang pemimpin yang otoriter atau pemimpin di negara komunis. Dengan kata lain, buku ini telah berperan sangat penting dalam mengembangkan pemikiran para pemimpin pergerakan sosialis-komunis. Lenin adalah salah satu diantaranya. Ia sudah muak dengan kemiskinan yang terjadi diwilayahnya. Pemikiran Marx untuk menghapuskan kemiskinan, dengan cara menghilangkan kelas-kelas di masyarakat, diinterpretasikan oleh Lenin dengan cara yang represif. Baginya, untuk menghilangkan kelas borjuis dan proletar hanya dapat dilakukan dengan satu tindakan mutlak: pembantaian kaum borjuis. Revolusi itu disebut dengan Revolusi Oktober, dan menjadi awal dari berdirinya negara sosialis pertama - Soviet.

Pemikiran yang digunakan oleh Lenin untuk melakukan tindakan tersebut tidak dapat lagi dikatakan sepenuhnya sebagai ide Marx, sehingga dalam beberapa buku, disebut sebagai Marxisme-Leninisme, yang artinya ideologi Marx yang diinterpretasikan oleh Lenin.

Di China ketika akhirnya komunis berhasil mengambil alih kekuasaan dari tangan kuomintang, untuk beberapa saat rakyat merasa aman. Selan karena tentara komunis yang pada awal-awal masa kekuasaan bersikap adil, dan jarang menggunakan tindak kekerasan (kecuali bagi para tuan tanah dan tentara Kuomintang yang sering melakukan kekerasan pada para petani), bersikap sangat mendukung masyarakat untuk perubahan China kearah yang lebih baik lagi, dan partai komunis juga menjanjikan kehidupan yang lebih baik lagi bagi kaum petani - lapisan masyarakat yang paling penting dalam pergerakan sosialis-komunis.

Namun sekali lagi, disini, ideologi dan politik telah dimainkan sedemikian rupa oleh penguasa. Sosialisme yang pada awal kelahirannya ditujukan untuk memberikan keadilan dan kehidupan yang layak bagi kaum proletar, diubah menjadi alat untuk melancarkan manuver-manuver politik yang menghancurkan. Hampir menyerupai seperti Lenin, Mao Tse-Tung menggunakan ideologi sosialis-komunis untuk menyingkirkan kaum-kaum terpelajar dan intelek karena dianggap bertentangan dengan ”gambaran rakyat” komunis. Dalam setiap pidato dan kebijakannya, Mao melarang rakyatnya untuk berpendidikan, menikmati budaya dan kesenian, menyuarakan pikiran mereka, dan yang paling penting lagi, mempertanyakan kebijakannya. Rakyat hanya perlu mengikuti segala kebijakan dan peraturan yang telah dibuat oleh Partai Komunis, yang diketuai oleh Mao.

[caption id="attachment_121998" align="aligncenter" width="300" caption="Chairman Mao"]

1310373546471996248

[/caption]

Power Tends to Corrupt. Kekuasaan yang terlalu besar yang hanya dimiliki oleh segelintir orang, akan berakibat pada penyalahgunaan kekuatan, Meskipun Mao berkata ia tidak menyukai kaum intelek karena tidak dianggap sejalan dengan ”tipe” masyarakat dalam negara sosialis. Namun mulai bermuculan anggapan bahwa jika semua rakyatnya sebagian besar terdiri atas petani-petani yang kurang berpendidikan, maka ia akan dapat menguasai China seluruhnya, tidak akan ada yang mempertanyakan kebijakannya, dan posisinya sebagai pemimpin China yang absolut akan tercapai.

Pada akhir tulisan ini saya semakin yakin, bahwa tidak ada yang salah dengan sosialisme-komunisme. Korban yang berjatuhan sepanjang sejarah perkembangan sosialis-komunis, sebetulnya terjadi hanya karena sifat tamak manusia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline