Lihat ke Halaman Asli

Pemulung Berlangitkan Awan

Diperbarui: 17 Juni 2015   14:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Wawan,seorang lelaki paruh baya, bersama keluarga kecilnya setiap hari berkeliling untuk mencari barang yang bisa dijual untuk biaya hidup.

Sinar matahari yang menyengat maupun hujan yang turun tak menghentikan langkah Wawan(40) dan keluarga nya,Ida(40) dan Gagan(4) untuk memulung. Barang yang mereka ambil tidak terbatas hanya plastik saja seperti kebanyakan pemulung, tapi mereka mengambil semua barang yang bisa dijual,seperti kain bekas. Mereka akan menjualnya di daerah Jembatan Lima, jarak yang cukup jauh harus mereka tempuh demi menjual barang hasil memulung mereka.

Biasanya saat malam hari sang ayah pergi memulung lebih dulu, lalu pada pagi hari keluarga ini akan pergi untuk mandi di bawah jembatan yang menyediakan air pam gratis. Setelah mandi baru mereka akan pergi memulung bersama,dengan membawa gerobak yang di tarik oleh Wawan. Sehari-hari mereka melewati rute yang sama untuk memulung. Saat matahari mulai terbenam, mereka akan pergi beristirahat dan tidur di depan emperan toko-toko Pasar Baru. Mereka tidur dengan sedikit rasa cemas, karena banyak razia polisi yang akan menangkap gembel-gembel. Sebenarnya mereka ingin mengontrak tapi biaya kontrakan sangat mahal dan tidak tertutup dengan penghasilan sehari-hari. Tempat mereka untuk tidur pun berpindah-pindah karena sering ada razia polisi mendadak yang menyebabkan mereka harus pindah ke tempat lain. Mereka pernah tertangkap sekali dan harus merasakan hidup dibalik jeruji besi selama 1 bulan sambil menunggu pemulangan ke kampung mereka di Karawang. Setelah pemulangan ini, mereka kembali lagi ke Jakarta karena kehidupan mereka di kampung pun sama susahnya dengan menjadi kuli bayaran sehingga awal nya mereka datang ke Jakarta sendiri dengan modal nekat untuk mengadu nasib. Keluarga mereka yang ada di kampung saat ini menjadi kuli bayaran yang pekerjaannya lebih keras dari memulung tapi dengan gaji yang sama dengan memulung.

Tanpa rasa lelah keluarga kecil ini terus berusaha mencari barang yang bisa dijual. Tanpa ada atap yang melindungi mereka selama 24 jam, mereka terus berada di jalan ibu kota yang kejam dengan perasaan khawatir akan hidup dan razia polisi yang tidak tahu kapan datangnya. Jika hujan turun mereka harus kehujanan dan jika panas terik harus bertahan dibawah sengatan matahari. Ida dan keluarga nya hanya bisa berlindung di bawah pohon saat cuaca tak menentu. Terkadang jika mereka merasa lelah saat memulung, mereka akan mencari tempat untuk berteduh dan beristirahat. Mereka menjadi pusat perhatian orang-orang yang lewat karena  mereka tidur disana, namun mereka tidak memperdulikannya.

Air mata menetes di pipi Ida saat bercerita mengenai kehidupan sehari-harinya. "Saya dan bapak bekerja untuk anak kami, yang penting bisa menghidupi dia. Penghasilan sehari ya kami syukuri saja." kata Ida. Seberapa kecil pun penghasilan mereka dalam sehari, mereka tetap mensyukurinya asal mereka bisa tetap bersama dalam 1 keluarga utuh. Ucapan syukur ini datang dari sebuah keluarga kecil dengan penghasilan yang minim tapi mereka tetap bisa melihat sebuah hal positif dari kehidupan mereka.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline