Entah di mulai dari tahun berapa, anak-anak masa kini sudah diperkenalkan dengan gadget atau gawai. Tak jarang anak usia balita dan batita bahkan sudah lincah bermain gawai. Sedih melihatnya. Di mana usia mereka seharusnya lebih banyak eksplorasi motorik kasar dan halusnya.
Saya sebagai seorang pendidik dalam bidang seni dan bahasa secara daring dan tatap muka, sering mendapatkan murid dengan aduan orangtua karena anaknya terlalu sering main games online.
Sering juga saya mendengar ungkapan ungkapan seperti;
"Sosial media meresahkan, anak-anak jadi korban sosial media dan gawai".
Lalu saya berpikir sembari mengamati fenomena ini dalam keseharian, caranya melihat anak-anak saya sendiri. Apa iya gawai dan sosial media meresahkan? Ternyata tidak selalu juga.
Anak-anak saya besarkan dengan keadaan yang sederhana. Saya tidak ikut ikut trend loyal membelikan dan memberikan mereka gawai untuk sekedar membuat mereka anteng sementara.
Saya membiarkan mereka berkarya di rumah dengan kertas gambar, spidol, pensil warna, lem, gunting dll. Tujuannya agar motorik kasar dan halus mereka terlatih dengan baik. Sehingga di usia mereka masuk sekolah sudah terbiasa menulis, menghapus dan mewarnai yang ternyata memerlukan effort besar bagi seorang anak.
Bagi saya yang lulusan seni rupa dan bahasa, anak-anak itu akan anteng dengan cara di perkenalkan dengan seni, entah itu menggambar, melukis, gunting tempel, dan bahkan mewarnai punya efek yang menenangkan loh.
Makanya sekarang dijual coloring book untuk dewasa. Karena art is healing. Seni termasuk proses penyembuhan dan mengalihkan perhatian ke hal yang lain berupa visual.
Contohnya, ketika anak menggambar dan mewarnai, fokus dan konsentrasi anak akan konsisten ke kegiatan tersebut. Terlebih menggambar dan mewarnai akan menghasilkan visual yang nampak dan menarik walaupun dalam bentuk 2 dimensi. Apalagi jika berkarya seni dalam bentuk 3 dimensi. Di jamin betah dan anteng anaknya menikmati proses berkarya.