Lihat ke Halaman Asli

Novel | Broke and Lost

Diperbarui: 5 Maret 2020   22:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Illustration (dokpri)

17 tahun sudah aku hidup di dunia ini. Hidup dengan segala suka duka. Dengan segala mutiara kehidupan. Aku adalah anak pertama dari 3 bersaudara. Adik lelaki ku sekarang menginjak kelas 6 SD dan adik perempuan ku sekarang menginjak kelas 3 SD. 

Saat ini aku telah duduk di bangku kelas 3 SMA, dimana sebentar lagi aku akan menempuh Ujian Nasional. Semua anak yang akan menempuh ujian nasional itu haruslah mendapatkan support orang-orang terdekatnya. Seperti dukungan dari keluarga. Bukan hanya ucapan semangat, tetapi kondisi tempat tinggal keluarga yang sangat berpengaruh menurutku. 

Sejatinya semua orang di dunia ini tidak menginginkan pertikaian dalam keluarga nya. Walaupun itu permasalahan dari orangtuanya. Semua orang ingin bahagia dalam keluarganya. 

Tetapi Tuhan menghadirkan percikan-percikan permasalahan untuk menguji bagaimana cara hambanya menyelesaikan nya. Apakah dengan kepala dingin atau dengan kepala panas? Semua tergantung cara para manusia menyikapi hal tersebut.

***

Aku masih ingat kejadian itu, kejadian yang Aku lihat dengan mata kepalaku sendiri. Pagi itu, Ibuku memerintahkan Aku untuk membuang sampah yang ada di dapur ke tempat pembuangan. Plastik sampah itu sudah Ku ikat, dan Aku sudah siap melangkahkan kaki untuk membuang nya.

Entah bagaimana awalnya, disitu Aku melihat kejadian hebat di depan mataku. Kejadian itu terjadi saat Aku sudah keluar dari dapur membawa kantong sampah, ya, pertikaian diantara orangtuaku. Aku yang saat itu belum bisa berbuat apa-apa, hanya bisa menangis. 

Dan kantong sampah itu Aku simpan kembali ke dapur, lalu Aku berlari ke kamarku yang berada di lantai atas. Ku tutup pintu kamarku dan Akupun bersandar di pintu itu. Aku menangis dan terus saja menangis.

"Sebenarnya apa yang terjadi??" Ucapku lirih nyaris tak terdengar diiringi air mata yang mulai mengalir membasahi pipiku.

Aku terus saja menangis sesenggukan. Aku takut apa yang terjadi selanjutnya. Sementara pertikaian tersebut terus saja berlangsung. Aku semakin ketakutan.

'Ya Allah, tolong lah hamba-Mu ini', lirihku.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline