Akhir -- akhir ini di Indonesia marak terjadi kasus pemerkosaan. Pemerkosaan merupakan pemaksaan hubungan seksual lawan jenis yang mengancam secara fisik maupun secara psikologis (mental). Pemerkosaan juga dapat dimasukkan dalam beberapa pelecehan seksual, ini membuat para korban menjadi ketakutan, dan sangat mempengaruhi pertumbuhan fisik dan mental (merasa terintimidasi, tidak nyaman, malu dan terancam). Pelecehan seksual bisa berupa candaan yang mengandung unsur dewasa (lelucon kotor), memeluk, sentuhan seksual dan lain sebagainya.
Para korban pemerkosaan ini biasanya Wanita dan anak -- anak yang dianggap oleh pelaku tidak bisa berbuat (lemah), para pelaku ini mempunyai kekuasaan yang lebih dari pada korban sehingga para pelaku dapat memberi ancaman dalam melakukan tindakan pemerkosaan ini. Dimata para pelaku apa yang dilakukan korban tersebut mengundang hal -- hal tidak senonoh, tapi apakah para pelaku menyadari bahwa mereka yang memiliki kelainan ?.
Sebagai contoh pemerkosaan terhadap 13 santri di Bandung yang dilakukan oleh gurunya, dalam melakukan aksi bejatnya HW (pelaku guru) dia menjanjikan biaya Pendidikan gratis kepada murid/santrinya. HW melakukan aksinya kepada 13 santri ditempat yang berbeda -- beda seperti di sekolah, Yayasan/pesantren milik HW, hotel dan apartemen. HW sudah melakukan aksi bejatnya ini dalam kurun waktu 5 Tahun (2016 -- 2021). Dalam hal ini masyarakat atau public dibuat terkejut lantaran dari 13 korban santri 7 diantaranya sedang hamil dan melahirkan anak (memiliki 9 orang anak dari 7 santri tersebut).
Dalam kasus ini HW terbukti bersalah sesuai dengan Pasal 81 ayat 1, ayat 3 dan 5 jo Pasal 76 D UU RI Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perubahan atas UU RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak jo Pasal 65 ayat 1 KUHP. Dalam kasus ini Jaksa Penuntun Umum (JPU) menuntun HW Hukuman mati, hukuman tambahan berupa Kebiri Kimia, membayar denda sebesar Rp 500juta dan membayar restitusi kepada para korban sebesar Rp 331 juta. Namun, hakim menjatuhkan putusan penjara seumur hidup.
Banyak masyarakat yang menanyakan. Dalam hal ini mengapa tidak dijatuhkan putusan hukuman mati atau dikebiri ? bukankah dengan hukuman tersebut dapat memberikan efek jera terhadap para pelaku pemerkosaan diluar sana ?. Dalam kasus ini Komnas HAM tidak menyetujui karena hukuman kebiri dan hukuman mati tidak sesuai dengan prinsip HAM.
Padahal dalam pemberian hukum kebiri diatur pada Pasal 81 ayat 7 dimana kebiri kimia dinormakan sebagai pidana tambahan bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak, Peraturan Pemerintah (PP) No. 70 Tahun 2020 tentang Tata Cara Pelaksanaan Tindakan Kebiri Kimia. Namun, banyak pro dan kotra, seperti kontranya hukuman mati dan hukuman kebiri melanggar Hak Asasi Manusia (HAM), hukuman tersebut tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia. Sedang pro adanya hukuman mati dan hukuman kebiri memberikan sedikit substantif mengatasi persoalan keadilan oleh korban, sebagai bentuk tanggung jawab dan pembalasan yang diterima pelaku.
Dalam hal ini diharapkan Pemerintah dapat memberikan hukuman yang tegas dan adil sehingga para korban pemerkosaan dan pelecehan seksual merasa adil. Berikan perlindungan terhadap para korban karena diluar atau dimasyarakat kesan tidak bagusnya dikorban, korban dianggap tidak bisa menjaga kehormatannya seperti menggunakan pakaian, cara berkomunikasi dan sebagainya. Namun, dalam hal ini kebanyakan para korban merupakan anak dibawah umur, disini peran orang tua dan lingkungan yang mempengaruhi dengan diberikannya Pendidikan sex education mungkin dapat memberikan pengetahuan atau pencegahan agar tidak menjadi koban pemerkosaan dan pelecehan seksual. Para pelaku biasanya sudah bependidikan dan memiliki kekuasaan, untuk saat ini tidak menjamin jika seseorang yang berpendidikan tinggi memiliki perilaku yang baik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H