Krisis keuangan global 2008 membuka mata dunia terhadap kebutuhan mendesak untuk memperkuat stabilitas sistem keuangan. Di Indonesia, salah satu respons utama terhadap tantangan ini adalah penerapan kebijakan makroprudensial, khususnya melalui instrumen Loan-to-Value (LTV) di sektor properti. Kebijakan ini dirancang untuk mengendalikan risiko sistemik dengan membatasi jumlah kredit yang dapat diperoleh berdasarkan nilai agunan properti. Namun, setelah lebih dari satu dekade implementasi, efektivitas kebijakan ini dalam mengendalikan dinamika pasar properti dan menjaga stabilitas sistem keuangan nasional masih menjadi pertanyaan kritis.
Instrumen LTV dianggap sebagai kebijakan countercyclical yang mampu memitigasi risiko sistemik, terutama dalam menghadapi pertumbuhan kredit yang berlebihan dan potensi terjadinya gelembung harga aset. Pemikiran Hyman Minsky tentang siklus keuangan menjadi dasar filosofis kebijakan ini, di mana perilaku spekulatif pelaku ekonomi dalam fase ekspansi sering kali berujung pada krisis ketika terjadi koreksi pasar. Bank Indonesia mengadopsi prinsip ini untuk mencegah akumulasi risiko di sektor properti dengan mengontrol laju pertumbuhan kredit dan memastikan harga properti mencerminkan fundamental ekonomi. Namun, penerapan kebijakan ini di lapangan sering kali menghadapi tantangan yang kompleks, terutama dalam konteks ekonomi yang terus berubah.
Data empiris menunjukkan bahwa efektivitas LTV dalam menjaga stabilitas harga properti masih terbatas.
Pada triwulan IV 2023, harga properti residensial tetap menunjukkan tren kenaikan, meskipun dalam skala yang moderat. Menurut data Bank Indonesia, harga rumah tipe kecil, menengah, dan besar masing-masing naik sebesar 0,36%, 0,17%, dan 0,25% secara triwulanan. Hal ini menunjukkan bahwa, meskipun kebijakan LTV dapat menahan laju kenaikan harga, instrumen ini belum sepenuhnya efektif dalam mengendalikan dinamika harga properti. Salah satu penyebabnya adalah kompleksitas faktor-faktor lain yang memengaruhi pasar properti, seperti inflasi, permintaan spekulatif, dan perubahan pola konsumsi masyarakat.
Inflasi menjadi salah satu faktor utama yang memengaruhi dinamika pasar properti. Menteri Keuangan Sri Mulyani menegaskan bahwa kenaikan inflasi, baik yang bersumber dari faktor domestik maupun eksternal, dapat memicu kenaikan harga properti. Dalam kondisi inflasi tinggi, biaya pembangunan meningkat, yang pada akhirnya diteruskan kepada konsumen. Selain itu, penelitian menunjukkan bahwa perilaku masyarakat yang membeli properti untuk tujuan investasi semakin memperumit pengendalian harga. Properti tidak lagi sekadar kebutuhan primer, tetapi juga menjadi instrumen akumulasi kekayaan, yang sering kali mendorong harga di luar kemampuan sebagian besar masyarakat.
Meski demikian, kebijakan LTV berhasil menjaga pertumbuhan kredit tetap terkendali.
Pada triwulan IV 2023, total kredit Kepemilikan Rumah (KPR) dan Kredit Pemilikan Apartemen (KPA) mencatat pertumbuhan tahunan sebesar 12,17%, relatif stabil dibandingkan triwulan sebelumnya. Stabilitas ini mengindikasikan bahwa kebijakan LTV efektif dalam mencegah lonjakan kredit yang tidak sehat, sekaligus mendukung sektor perbankan untuk menjaga kualitas aset. Namun, tantangan lain tetap ada, yaitu memastikan bahwa pertumbuhan kredit ini diarahkan untuk mendukung kebutuhan masyarakat yang paling mendesak, bukan hanya untuk memenuhi permintaan spekulatif.
Transformasi ekonomi pasca pandemi COVID-19 menambah lapisan kompleksitas pada kebijakan LTV. Tren kerja hybrid, peningkatan preferensi terhadap hunian di kawasan suburban, serta strategi investasi baru dalam sektor properti telah mengubah dinamika pasar. Di tengah perubahan ini, kebijakan LTV perlu terus disesuaikan agar tetap relevan. Respons yang terlalu kaku terhadap perubahan ekonomi global dapat membuat kebijakan ini kehilangan efektivitasnya dalam mengendalikan risiko.
Keberhasilan kebijakan LTV juga sangat bergantung pada koordinasi dengan kebijakan lain. Instrumen LTV, meskipun penting, tidak dapat berdiri sendiri dalam menjaga stabilitas sistem keuangan. Diperlukan sinergi antara kebijakan makroprudensial, kebijakan moneter, dan kebijakan fiskal untuk mencapai tujuan yang lebih besar. Sebagai contoh, kebijakan fiskal yang mendukung pembangunan perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah dapat melengkapi peran LTV dalam mengurangi risiko gelembung harga properti. Selain itu, pengawasan yang lebih dinamis dari otoritas keuangan juga menjadi kunci untuk memastikan bahwa kebijakan ini dapat berjalan secara efektif.