Indonesia adalah negara yang dikenal akan budaya dan tradisinya yang beragam. Bahkan di setiap daerah pasti memiliki budaya dan tradisinya yang berbeda-beda. Budaya merupakan suatu hal yang dapat dijadikan sebagai identitas unik dan khas bagi suatu daerah. Sedangkan tradisi adalah kebiasaan turun temurun yang masih dilakukan masyarakat dari masa ke masa.
Gambar Jembatan brantas penghubung kota barat dan kota timur
Begitu juga di kota tempat kelahiran saya yaitu Kota Kediri. Kota ini awalnya berupa sebuah kerajaan Kadiri yang berada di belahan Selatan Provinsi Jawa Timur. Pada akhirnya kerajaan tersebut dipilah menjadi dua bagian atau kerajaan yaitu kerajaan Jenggala dan Panjalu. Yang kita kenal saat ini struktur wilayahnya disebut dengan Kota Barat dan Kota Timur yang dipisahkan oleh Sungai Brantas.
Kota ini menjadi pusat perdagangan utama karena adanya pabrik gula dan industri rokok bernama perusahaan rokok Gudang Garam. Selain itu, Kota Kediri dikenal sebagai kota tahu karena makanan khasnya. Selain makanan khasnya, Kota Kediri ini memiliki banyak peninggalan sejarah, potensi wisata, budaya dan tradisi yang menarik untuk diceritakan. Salah satu budaya yang masih ada dan dilestarikan hingga sekarang di Kota Kediri ini yaitu kesenian jaranan.
JARANAN
Jaranan ini merupakan kesenian khas kediri. Biasanya orang orang lebih mengenal dengan nama lainnya yaitu kuda lumping. Kesenian jaranan sudah ada sejak zaman kerajaan kuno Jawa Timur dan hingga saat ini masih ada untuk mengingat sejarah dan asal usulnya. Dahulu Jaranan ini merupakan seni sakral yang digunakan untuk upacara resmi yang berhubungan dengan roh luhur keraton. Namun, seiring berkembangnya zaman jaranan sekarang menjadi tontonan atau hiburan masyarakat sekitar. Selain sebagai hiburan, jaranan juga dikenal sebagai pemersatu masyarakat di Kediri, berkaitan dengan Pancasila sila ke 3 yaitu ”Persatuan Indonesia” yang artinya adalah sebagai masyarakat Indonesia kita harus menjadi satu.
Kesenian jaranan adalah tarian tradisional yang dimainkan oleh penari dengan peralatan tari berupa kuda yang terbuat dari anyaman bambu dengan si penari menggunakan pakaian seperti prajurit dan membawa pecut, celeng (babi hutan), caplokan atau barongan dan dengan diiringi kendang, gamelan, kenong dan gong yang terbuat dari besi dan terompet.
Penari jaranan ini akan melakukan gerak tari sesuai dengan irama gamelan yang dimainkan, lalu pada puncak tariannya penari jaranan tersebut akan mengalami trance (kesurupan) sehingga dapat melakukan atraksi seperti makan kembang, makan beling, dan hal ekstrim lainnya. Penari jaranan ini juga pasti didampingi oleh pawangnya yaitu gambuh. Gambuh yaitu seorang yang bertugas untuk mengobati si penari tersebut pada saat trance (kesurupan).
Kesenian ini memiliki sejarah cukup panjang yang sebenarnya menggambarkan cerita pernikahan tentang Dewi Sangga Langit dengan Prabu Klana Sewandana. Dewi Songgo Langit atau biasa disebut Dewi Sekartaji, putri dari Raja Airlangga yang sangat cantik. Kecantikannya membuat banyak pria yang datang untuk melamarnya. Dia mau menikah tetapi dengan satu permintaan atau sayembara “Barang siapa yang bisa membuatkan kesenian yang belum pernah dibuat oleh siapapun maka ia menjadi suamiku”.
Karna banyaknya pria yang ingin menikahi Dewi Songgo Langit, lalu mendengar sayembara atau permintaan dari Dewi Songgo Langit. Maka, para pelamar tersebut datang menuju ke Kerajaan Kadiri. Ditengah perjalanan, para pelamar yang datang dari berbagai daerah tersebut bertarung dan dimenangkan oleh Prabu Klana Sewandana dari Wengker. Singkat cerita, Prabu Klana Sewandana lah yang terpilih untuk dijadikan suami Dewi Songgo Langit.
Pada saat iring temanten dari Kerajaan Kadiri menuju Kerajaan Wengker, diiringi rombongan prajurit berkuda dengan diiringi oleh musik yang berasal dari bambu dan besi. Para prajurit yang menunggang kuda dilambangkan sebagai jaranan dan pemusik yang mengiringinya dilambangkan sebagai orang yang memainkan gamelan.