Lihat ke Halaman Asli

Hati yang Mendua

Diperbarui: 24 Juni 2015   00:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash


Weekend ini aku pulang ke rumah Ibu di Bogor. Rasanya kangen sekali masakan Ibu, pepes ikan peda, sambal terasi dan sayur lodehnya yang menggugah selera. Setelah lima hari menghabiskan waktu untuk bekerja, di saat sabtu menjelang hanya ada satu keinginan, beristirahat, leyeh-leyeh di rumah dan bermain game.
Ahhh indahnya hari....
Sesampai di beranda rumah, tampak sangat sepi, aku telpon Ibu kalo aku sudah sampai didepan rumah.
"Assalamualaikum, Bu...." kataku di telpon
"Waalaikumsalam." Jawab Ibu sedikit terbata. Suaranya terdengar agak berat menjawab.
"Cakra dah ada di depan rumah Bu..tolong bukakan pintu." Pintaku pada Ibu
Pintu pun dibuka, kulihat wajah Ibu tampak kusut tak bersemangat.
Aku segera menuju sofa seraya bertanya pada Ibu yang sedikit tidak menghiraukan aku.
"Bu, ada masalahkah dengan Ibu? Ayah kemana Bu? Tatapku pada Ibu yang bersandar di sofa yang sama.
"Cakra, Ibu ingin bicara, tapi kamu harus tahu, Ayahmu selalu sayang pada kita berdua." Jawab Ibu menatapku duka.
"Ada apa dengan Ayah Bu?" Tanyaku ingin segera tahu.
Ibu diam dan menitikkan air mata. Matanya tampak kosong memandang lampu yang membisu.
"Ayahmu pergi ke luar kota Nak...Diaa.." Ibu menangis tak dapat meneruskan kata-katanya...
Aku peluk ibu yang menangis tersedu-sedu. Aku elus-elus punggung ibu agar tenang hatinya.
"Cakra..., ayahmu ternyata selama ini membagikan hatinya untuk wanita lain..." tangisan ibu semakin menjadi.
Tiba-tiba menyembul perasaan marah, benci pada ayahku yang selama ini kuhormati.
Apa lagi yang kurang dari Ibu?" Geramku dalam hati. Ayah menikahi Ibu seorang wanita cantik, pintar dan terhormat. Ibu merelakan hidupnya untuk mengabdi padanya! Kenapa Ayah lakukan ini? Jeritku dalam hati..
Pantas dua hari ini telpon ayah tidak aktif. Sepertinya ayah menghindariku.
Esoknya aku pamit pada Ibu. Aku ingin mengunjungi kekasihku. Rania kekasihku paling pintar menghibur perasaanku takkala aku marah.
Kustarter mobilku, kulaju dengan cepat agar hatiku terhibur dalam gundah.
Sesampai disana aku disambut pengurus rumah Rania, Bi Wati.
Pagar rumahnya dengan sigap dibuka, tapi rumah itupun tampak sepi.
"Aden Cakra, silakan masuk. Duduk dulu ya Aden...nanti Non Rania saya telpon."
" terima kasih Bi," kataku sambil duduk di ruang tamu.
Terdengar suara mobil menuju garasi, hidungku mulai merasakan aroma parfum Rania.
"Ka Cakra, udah nunggu lama?" Sapa gadis cantik yang kurindu.
"Barusan Dik." Jawabku gembira
"Habis dari pesta Dik?" Tanyaku pada Rania yang tampak memakai gaun yang indah.
"Iya ka...dari acara Mama." Timpal Rania datar.
"Ma, aku bahagia sekali hari ini." Terdengar suara lelaki paruh baya di beranda rumah
Rania pun datang setelah berganti pakaian di kamar. Dia tampak sumringah hari ini.
"Ka cakra, ayo sini." Pintanya mengajakku ke beranda.
Belum aku berdiri, tampak Ibu calon istriku berdandan cantik dan terlihat rona wajah penuh bahagia masuk ke ruang tamu.
Rasanya ingin berlari takkala kutahu lelaki disampingnya menyapaku.." Perkenalkan saya ayah tiri Rania."
Kakiku bergetar, gemeretak gigiku kutahan, amarahku memuncak...."Ayahhh..."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline