Lihat ke Halaman Asli

Menyesal

Diperbarui: 8 Februari 2021   01:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Tahun 2010, aku memutuskan mengisi waktu libur kuliahku untuk pergi ke Yogyakarta menjadi bagian dari tim SAR. Kala itu aku membantu mengevakuasi para korban letusan Gunung Merapi, namun 275 orang diantaranya tidak bisa kami selamatkan. Di tengah malam saat hendak beristirahat, ada warga yang datang dan mengatakan bahwa ada seorang anak lelaki yang berusia tiga tahun masih berada di pemukiman yang letaknya di kaki gunung. Tidak ada yang berani mengevakusi anak itu karena lahar semakin turun ke kaki gunung, kecuali aku dan satu wanita dari PMI. Disanalah kami pertama kali bertemu, kami memutuskan untuk langsung pergi mengevakuasi anak itu.

Kala itu kami benar-benar mempertaruhkan nyawa kami, api dimana-mana, hutan sudah sangat terbakar, dan tanah sudah tertutup abu vulkanik. Kami turun dari mobil, lalu menurunkan berbagai perlengkapan untuk mengevakuasi.

"Kita harus berpencar!" Perintahku.

"Kita harus selalu bersama, jangan membuat salah satu diantara kita hilang dan menambah korban yang perlu di evakuasi!" Jawabnya.

Aku membenarkan ucapanya, lalu menyalakan empat senter. Dua untuku dan dua untuknya.

Kami terus berteriak dan mengarahkan senter kami secara acak. Setelah cukup lama, kami menemukan anak itu pingsan tergeletak diatas gubuk kayu yang hampir terbakar. Kami berlari agar anak itu bisa cepat dievakuasi, namun tiba-tiba ada ranting yang penuh api jatuh mengenai wajah wanita itu, masker yang digunakannya terbakar dan mengenai pipinya hingga kulitnya sedikit mengelupas. Dia langsung membuang asal maskernya dan melilitkan kerudungnya hingga menutupi hidung dan mulut, udara saat itu terlalu berbahaya jika terhirup.

"Kenapa kamu tidak memakai masker cadangan?" Tanyaku.

"Kamu tahu kita hanya membawa satu masker, dan itu untuk anak ini!" Jawabnya sambil melilitkan selimut basah dan memakaikan masker yang sedang kami bicarakan pada anak itu.

"Kita bahkan tidak tau apakah anak itu masih hidup atau sudah mati." Ucapku.

"Dia akan tetap hidup jika kita bisa cepat membawa dia dari sini." Jawabnya.

Aku menggendong anak itu dan kami berusaha untuk lari secepat mungkin. Ditengah perjalanan dia mengatakan bahwa sepatuku meleleh, namun aku tidak menghiraukannya dan terus berlari hingga tiba di tempat kami memarkirkan mobil tadi. Akupun memasukan anak itu di kursi belakang agar bisa langsung mendapatkan penanganan pertama. Aku mengemudikan mobil dengan sangat cepat untuk mencegah ban mobil ikut meleleh.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline