Pada 9 Agustus lalu, Washington Post merilis artikel tentang cara Korea Selatan menangani limbah makanan. Di negeri ginseng tersebut, limbah makanan harus dipisahkan dari limbah umum lainnya.
Kebijakan ini telah diberlakukan sejak 20 tahun lalu, dan meskipun pada awalnya warga Korea mengalami kesulitan untuk menyesuaikan diri, lambat laun kebiasaan ini menjadi bagian dari keseharian mereka.
Sebelumnya, membuang limbah makanan bersama dengan limbah lainnya dalam satu kantong plastik besar adalah hal yang biasa.
Namun, limbah yang bercampur ini mempersulit pemisahan di kemudian hari, serta memakan waktu dan biaya. Sehingga limbah sering hanya ditimbun di dalam tanah. Penumpukan ini menyebabkan pencemaran dan menghasilkan gas metana, salah satu gas rumah kaca penyebab utama pemanasan global.
Pemerintah Korea Selatan menyadari bahwa solusi efektif adalah dengan memisahkan limbah makanan dari sumbernya, baik individu maupun rumah tangga. Masyarakat yang terbiasa mencampur limbah awalnya bereaksi keras, tetapi pemerintah terus mengedukasi dan memberlakukan denda tinggi bagi pelanggar. Kini, tidak ada lagi keluhan saat membuang limbah makanan ke dalam mesin pengumpul khusus.
Di Korea Selatan, semua limbah dikirim ke Pusat Daur Ulang Limbah, tetapi limbah makanan dikirim ke Pusat Bioenergi. Sebanyak 98% limbah makanan diolah menjadi pupuk, pakan ternak, atau biogas, yang merupakan sumber energi terbarukan.
Di Amerika Serikat, 60 persen limbah makanan dibuang ke tempat pembuangan sampah, hanya 5 persen yang dikompos, dan 15 persen diubah menjadi energi. Menurut Organisasi Pangan dan Pertanian PBB, hingga 31 persen makanan terbuang sia-sia. Jumlah ini cukup untuk memberi makan lebih dari satu miliar orang yang kelaparan. Limbah makanan diperkirakan menyumbang 6 hingga 8 persen dari total emisi limbah global.
Indonesia, negara dengan populasi terbesar keempat di dunia, adalah penyumbang limbah makanan terbesar di Asia Tenggara, menghasilkan sekitar 2,1 juta ton pada tahun 2021, jauh melebihi negara lain di Asia Tenggara.