Lihat ke Halaman Asli

Justin Jeongho Kim

Jurnalis dan Konsultan Bisnis

Bagaimana Trump Menjadi Monster di Film "The Apprentice"

Diperbarui: 7 Juli 2024   08:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Film The Apprentice (2024). (Sumber: iMDb)

The Apprentice, sebuah film baru karya sutradara Iran-Denmark, Ali Abbasi. Film ini berkompetisi di Festival Film Cannes pada bulan May lalu dan mendapatkan tepuk tangan meriah selama 8 menit setelah pemutarannya.

Saya belum menonton film ini, namun berencana untuk menontonnya nanti. Saat melihat posternya, saya penasaran dengan jalan ceritanya, lalu mencari info di Google dan ternyata film ini cukup menarik.

Ali Abbasi, 42, memenangkan Palme d'Or di Festival Film Cannes ke-71 untuk film keduanya, “Border” (2018). Film ketiganya, “Holy Spider” (2022), memenangkan Palme d'Or untuk Aktris Terbaik di Festival Film Cannes di tahun 2022. "The Apprentice" sendiri adalah film keempatnya, jelas sudah bahwa Cannes sangat mengapresiasi karya-karya Abbasi.


Tokoh utama dalam The Apprentice adalah mantan Presiden AS, Donald Trump. Film ini mengisahkan bagaimana Trump berkembang menjadi raja real estate pada tahun 1970-an dan 1980-an. Judul "The Apprentice" sendiri merujuk pada Trump sebagai murid yang membutuhkan seorang mentor. Dan, mentor dalam film ini adalah pengacara terkenal, Roy Cohn.

Poster film The Apprentice menampilkan Trump duduk dengan latar belakang emas, sementara pria di belakangnya adalah Roy Cohn. Poster ini secara implisit menyampaikan pesan bahwa Trump yang sekarang merupakan hasil didikan Cohn. 

Seseorang merangkum cerita film ini sebagai kisah tentang Trump muda yang berusaha meraih kekuasaan melalui perjanjian Faustian dengan pengacara sayap kanan berpengaruh di masa itu, Roy Cohn. Ini artinya, Trump “menjual jiwanya” kepada Cohn untuk mewujudkan semua ambisinya.

Roy Cohn berasal dari keluarga Yahudi kaya di New York dan menjadi jaksa federal setelah lulus dari Columbia Law School. Sebagai jaksa, ia melihat peluang menjadikan kariernya melesat dengan cara memberantas para komunis selama Perang Dingin. Ia menuntut pasangan Rosenberg, yang akhirnya dieksekusi karena diduga membocorkan teknologi nuklir AS. 

Selama penyelidikan, ia menggunakan berbagai cara ilegal seperti suap, intimidasi, dan penyiksaan terhadap para tersangka. Hal ini menarik perhatian Direktur FBI saat itu, J. Edgar Hoover. Senator Joseph McCarthy kemudian memanggil Cohn ke Washington untuk memimpin perburuan komunis antara tahun 1950 dan 1954, yang dikenal sebagai McCarthyism. Di Indonesia, Cohn bisa diibaratkan sebagai jaksa penuntut publik yang sangat berpengaruh. Setelah McCarthy kalah dalam pemilihan umum, Cohn beralih menjadi pengacara.

Sejak awal, ia menargetkan orang-orang kaya dan berkuasa, yang menggunakan segala cara untuk mendapatkan uang dan kekuasaan. Ia juga bekerja sebagai broker politik, memperkenalkan kliennya pada kampanye Nixon dan menggunakan mafia untuk mendapatkan pengaruh.

Di usia 50-an, Cohn yang berpengalaman dalam berbagai intrik politik, mulai berhubungan dengan Trump, seorang pengusaha real estate berusia 30-an, dan membantu Trump berkembang di dunia real estate Manhattan. Bisa dibilang, 80% Trump saat ini adalah hasil karya Cohn. Trump dan Roy Cohn menjadi sebuah tim untuk menyelesaikan berbagai kesepakatan, baik secara legal maupun ilegal.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline