Cerita-cerita yang diawali dengan kematian biasanya memberikan beban yang lebih berat kepada pengarangnya untuk memberikan pertanggungjawaban. Walaupun dunia cerita kemudian menjadi menyempit (karena pengarang tidak boleh mengakhiri kisah dengan hal-hal yang tak berhubungan dengan kematian itu), tapi itulah, penyempitan tidak selalu berarti kemudahan.
Pengarang mesti merasionalkan kisahnya, memasukkan segala peristiwa untuk sebisa mungkin melogiskan kematian itu, seberat apapun kerja yang harus dilakukan oleh pengarangnya.
Novel Lelaki Harimau yang ditulis Eka Kurniawan menjadi contoh yang baik dalam konteks ini. Eka mendahului kisah ini dengan kisah pembunuhan yang dilakukan Margio, terhadap Anwar Sadat, seorang tokoh yang mendatangkan kebahagiaan pada Margio sekaligus kemarahan yang tak mampu dibendung. Inti dari kisah ini tentu saja satu kisah pembunuhan, yang telah ditulis jelas oleh pengarangnya pada awal kalimat, tapi kemudian novel ini berkembang menjadi 190 halaman yang indah, tentu menjadi satu kerja yang patut diacungkan jempol.
Tapi demikianlah novel ini menjadi satu contoh bahwa psikologi manusia, karakter orang, sampai pada satu pembunuhan yang keji, dilandasi oleh himpunan kejadian-kejadian dalam hidup yang menderah manusia tiap waktu.
Tentu satu tindakan pembunuhan adalah hal yang dilarang oleh agama, terkhusus oleh Tuhan, dan Eka tidak memiliki kemauan dan kepentingan untuk menghukum seorang manusia atas tindakannya yang diluar dari pranata moral pada umumnya.
Dalam keseharian, yang telah dipatok dengan moral-moral yang dianut sejak dahulu kala, upaya pembunuhan adalah tindakan amoral yang ditentang semua orang, dan karena itulah orang-orang dengan uang yang banyak membangun ruang-ruang berterali besi.
Namun kemudian, oleh apa yang kita sebut sebagai pertanggungjawaban dan pengrasionalan, kisah pembunuhan itu perlahan-lahan menjadi satu kejadian yang hampir sanggup diterima akal sehat, seolah-olah apa yang dilakukan Anwar Sadat adalah satu dosa yang tak bisa diberi ampun oleh setan sekalipun.
Karena itu, dalam halaman-halaman selanjutnya sampai 190 halaman itu, Eka berusaha menjelaskan secara baik dan indah, secara lebih jelas, tentang alasan paling mendasar yang membuat seorang bocah memiliki niat untuk membunuh Anwar Sadat, dibantu oleh harimau yang bersemayam dalam tubuhnya. Kejadian demi kejadian pun kemudian diungkap secara pelan, dan pada bagian tertentu, kita dibuat berpikir bahwa kisah ini telah usai padahal belum usia sama sekali.
Eka memiliki kemampuan yang baik untuk memahami karakter manusia pada umumnya, terkhusus pada tokoh-tokohnya, dan pengalaman-pengalaman yang dialami semua tokoh, membuat kita jatuh hati dan tak mampu memberikan penilaian moral kepada mereka. Kita kemudian bisa memahami, bahwa satu kekejian bukanlah kekejian, kejahatan bisa diampuni, dan pembunuhan adalah satu tindakan paling rasional yang dilakukan oleh Margio.
Kita mungkin membutuhkan waktu hanya satu menit untuk mengetahui inti kisahnya, tapi apa yang dilakukan pengarang selanjutnya, seperti seorang guru matematika yang menuntun kita secara pelan-pelan untuk memahami betapa anekaragamnya cara untuk mendapatkan angka 10.
Pembunuhan itu kemudian dirasionalkan dengan perselingkuhan antara Nuraeni, ibunya Margio, dengan Anwar Sadat, yang dari aksi nungging itu kemudian melahirkan seorang bay bernama Marian dan mati tak lama kemudian, dan ternyata Anwar sang buaya darat itu tidak mencintai Nuraeni; tentang karakter ayah Margio yang bernama Komar bin Syueb, yang tak mampu juga memberikan kebahagiaan pada Nuraeni, dan sampai akhir hayatnya, Nuraine hanya mampu menghimpun senyum-senyum yang tersisa bersama Anwar dalam perselingkuhan yang memabukkan dan melahirkan seorang bay.