Lihat ke Halaman Asli

Buku dalam Jangkauan Guru Honorer

Diperbarui: 25 Mei 2019   10:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Buku | Dokpri

Catatan Kopong Bunga Lamawuran

Dalam masa-masa akhir ini, terlihat semakin banyak gerakan dalam menumbuhkan minat baca dan tulis masyarakat. Dilihat dari arah perkembangan budaya, hal ini tentu menunjukkan perkembangan yang baik dan perlu diapresiasi. 

Khusus kasus di Kabupaten Flores Timur (Flotim), adalah Asosiasi Guru Penulis Indonesia (Agupena) Flotim yang selalu melakukan gerakan-gerakan yang bertujuan menumbuhkan melek huruf, dan dengan cara sendiri mengajak para guru untuk selalu menulis.

Gerakan-gerakan seperti ini sama sekali tidak ada salahnya. Namun perlu adanya sebuah ajakan, baik terhadap Agupena Flotim maupun Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Flotim untuk ikut serta mengangkat suara memperjuangkan nasib guru honorer baik secara tulisan (pribadi) maupun secara gerakan (organisasi). Seruan ini memiliki alasan-alasan tersendiri, tentu saja dengan mempertimbangkan daya beli buku para guru honorer yang masih rendah.

Ini tentu berkaitan dengan tingkat melek huruf dan proses kepenulisan yang sering didengungkan. Untuk mendalami persoalan ini, baiklah diambil satu contoh kasus. 

Dalam tahun 1999, oleh Yayasan Obor Indonesia digelar sebuah seminar yang menghadirkan para ahli di bidang sosiologi, sastrawan, perbukuan, juga bidang penerbitan. 

Seminar ini secara khusus membahas buku, teknologi, dan penerbitan, kemudian menerbitkan hasil seminar itu dalam sebuah buku berjudul "Buku dalam Indonesia Baru" yang dieditori oleh Alfons Taryadi.

Terkait melek huruf yang dipaparkan Ignas Kleden dalam buku itu, agak mencengangkan misalnya dalam tahun '90-an, tingkat melek huruf di Indonesia sudah mencapai 84 %; sebuah prestasi melek huruf yang sebenarnya sudah melebihi standar yang ditetapkan oleh UNESCO (UNESCO sendiri menetapkan standar melek huruf untuk Negara berkembang adalah 60 %). 

Hal ini membuat Ignas Kleden bertanya-tanya, mengapa tingkat melek huruf yang tinggi di Indonesia tersebut tidak berbanding lurus dengan angka penerbitan buku di Indonesia? 

Lebih jauh, Ignas Kleden memaparkan bahwa angka rata-rata penerbitan buku baru pada tahun 1993-1994 yang ditetapkan UNESCO untuk Negara Berkembang sebanyak 55 judul per satu juta penduduk, dan 513 judul buku baru per satu juga penduduk untuk Negara Maju. Di Indonesia hanya ada 9 judul buku baru untuk tiap satu juta penduduk.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline