Lihat ke Halaman Asli

Romantisme Masa Lalu yang Bertahan

Diperbarui: 23 Mei 2019   23:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gedung SMPN 9 Amabi Oefeto Timur (gambar diambil bulan Mei 2018)

Catatan Perjalanan Kopong Bunga Lamawuran

Jauh ke arah barat dari titik kami berpijak, pemandangan indah membentang sampai ke ujung cakrawala. Pepohonan tampak rimbun namun mulai kekuning-kuningan, tegak dan pasrah menerima panas dari langit.

Sebuah rumah warga terlihat kecil di atas ketinggian, terhimpit pohon-pohon yang juga tampak kecil. Rumah yang tampak bagai pondok supermini itu berhasil menawarkan situasi sunyi yang dalam, layaknya seorang pertapa yang ingin menyerap sekaligus menyebarkan kesunyian pada lingkungan sekitarnya.

Pada waktu menjelang tengah hari, pemandangan indah itu kadang membuyar, terlihat bergelombang karena pengaruh panas matahari.

Hanya berjarak beberapa meter ke depan, terdapat sebuah lapangan bola kaki yang tak rata, dan sebuah pohon bidara yang sedang rimbunnya, tumbuh di pinggir bagian barat lapangan itu.

Letak Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 9 Amabi Oefeto Timur cukup strategis sekaligus ironis. Sekolah ini tersembunyi dan mendekam di pedalaman tanah Timor, terhalangi oleh hamparan pemandangan yang luas. Memang, dari titik pijak kami -- tempat sekolah itu berdiri -- hamparan pemandangan luas membentang luas, dinaungi kesunyian yang sangat dalam.

Secara kewilayahan administratif, sekolah itu terletak di Desa Pathau, Kecamatan Oefeto Timur, Kabupaten Kupang, Provinsi Nusa Tenggara Timur.

Kami datang pada waktu menjelang tengah hari, dan langsung bertemu kepala sekolah. Namanya Contan Tinuskanaf. Orangnya semangat, jujur, dan rendah hati.

"Memang pemandangan di sini sangat indah," ujar Contan. "Tapi kami mau lihat pemandangan itu, atau memikirkan kondisi sekolah ini."

Pandangan luas di depan sekolah itu perlahan-lahan membuyar, sirna, bahkan hilang, jika kita melihat-lihat kondisi sekolah itu dan membiarkan naluri kemanusiaan kita bersuara. Sekolah ini -- sama seperti sebagian kecil sekolah di NTT -- berhasil membawa kembali cerita-cerita sekolah zaman dulu, hadir tepat di tengah-tengah zaman kemajuan teknologi ini -- zaman milenial.

Situasi sekolah ini tentu berbeda dengan sekolah-sekolah yang berjarak hanya beberapa puluh kilometer dari Desa Pathau. Di sini tidak ada perpustakaan. Tidak ada kantin. Tidak ada kamar kecil. Tidak ada listrik. Tidak ada tumpukan buku. Laboratorium adalah ungkapan asing bagi anak-anak.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline