Lihat ke Halaman Asli

Satu Alasan Mengapa Anda Harus Membaca "Taiko" Karya Eiji Yoshikawa

Diperbarui: 23 Mei 2019   18:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ambuga lamawuran (koleksi pribadi)

Oleh: Kopong Bunga Lamawuran

Awal perjumpaan saya dengan karya sastra tidak secara pasti saya ingat. Jika ukurannya adalah kita bisa menangis sewaktu membaca sebuah karya sedih, saya kira saya sudah mengenal dunia ini sewaktu masih sekolah dasar, ketika untuk pertama kalinya saya membaca Tenggelamnya Kapal Van der Wijck. Namun jika ukurannya adalah ketika seorang anak bisa mengobsesikan diri, mengidentikan diri, sekaligus belajar dari seorang tokoh yang dibacanya dalam sebuah cerita, maka saya mengenal dunia ini sewaktu SMP, ketika untuk pertama kalinya saya membaca Taiko karya Eiji Yoshikawa.

Awal perjumpaan saya dengan novel itu bukanlah di sebuah toko buku. Waktu itu di daerah saya tidak ada toko buku (sampai sekarang), dan saya beruntung karena gereja paroki kami menyiapkan sebuah perpustakaan mini. Di gereja itulah saya membaca novel sejarah itu, dan untuk beberapa tahun ke depan, ingatan saya kepada novel itu, juga tokoh-tokohnya, terasa kental di kepala. Dan untuk menjawab judul di atas, sebenarnya tidaklah gampang. Saya tidak bisa dengan begitu saja meyakinkan orang hanya dengan sepenggal perjumpaan di atas.

Maka biarlah diceritakan sedikit isi novel itu beserta tokoh utamanya. Tentu saja, tokoh yang paling saya sukai dalam novel itu adalah Hideyoshi, manusia berwajah monyet, anak kelas paling melarat, pembawa sandal raja, yang kemudian bisa menjadi seorang Taiko, sang Penguasa Tunggal negeri Matahari Terbit. Setelah melewati masa Akil Balik, dia mulai bekerja. 

Dan sewaktu dia dipecat majikannya karena bersekongkol dengan perampok yang datang merampok majikannya, dia akhirnya dipulangkan dengan membawa upah setakar garam. Garam itu hanya bisa ditaruh di pekarangan rumah, dan berharap ibunya bisa menggunakan garam itu untuk keperluan hidup mereka. Dia telah berjanji pada ibunya, bahwa dia tidak akan berjumpa dengan perempuan itu jika dia belum sukses. Dia melakukan ini, untuk menepati janji hatinya. Jika dikaitkan dengan judul di atas, apakah ini menjadi alasan mengapa Anda harus membaca novel ini?

Saya kira bukan. Setelah dipecat, dia berkelana tanpa tujuan yang jelas. Di mana dia bekerja? Apa yang dia makan? Di mana dia tidur? Dia bekerja apa saja, di mana saja. Dia makan apa saja yang bisa dimakan. Dia tidur di bawah kolong langit. Suatu waktu, dia berjualan jarum. Keren, bagi saya. Jualan jarum! 

Tapi yang lebih keren, adalah ketika sedang berjualan jarum itulah, dia gunakan kesempatan untuk mempelajari situasi sosial budaya politik negerinya. Ini keren, karena rupanya jualan jarum bukan tujuan utamanya. Ada hal-hal besar yang sedang dipelajarinya, dan itu sewaktu dia jualan jarum. Pembaca yang tidak melihat kekerenan dari situasi ini patut dipertanyakan tingkat empatinya sebagai manusia. Jadi, apakah kekerenan ini menjadi alasan utama mengapa Anda harus membaca novel ini. Saya kira, bukan!

Lalu apa alasannya? Setelah berjualan jarum, berjalan ke mana-mana, mempelajari segala sesuatu yang terjadi di negerinya, dia akhirnya menjadi samurai, pengikut Nobunaga (saya juga sangat membanggakan sifat-sifat yang melekat pada diri Nobunaga, walaupun kadang dia agak sembrono). Waktu itu di negeri Jepang, perang terjadi di mana-mana. Hideyoshi, akhirnya dipercayakan memimpin sebuah benteng, dan tentu saja, karir yang menanjak cepat itu menumbuhkan iri hati bagi beberapa orang. 

Dalam masa itu, masa perang maksud saya, dinding benteng yang dipimpinnya runtuh. Dan sesuai perjanjian, dia sebagai pemimpin benteng harus menyelesaikan pekerjaan perbaikan itu hanya dalam tiga hari. Jika tidak, dia akan dipecat. Dengan penuh percaya diri (atau bodoh), dia mengiyakan. Jika anda pernah membaca tokoh Biswas dalam Sepetak Rumah Untuk Tuan Biswas karya Naipaul, anda bisa temukan sifat yang agak sama dengan tokoh Hideyoshi ini: santai, penuh rencana, merasa diri benar, juga penuh kejutan.

Namun sialnya, banyak yang tidak menyukai Hideyoshi sebagai pemimpin, termasuk para pekerja benteng. Tahulah. Setelah dua hari, pekerjaan itu tidak juga menunjukan perubahan. Artinya sisa sehari untuk dia, manusia berwajah monyet itu, dipecat. Apa yang dilakukannya? Malam ketiga, dia menumpukkan sake (minuman keras) sebanyak mungkin di lapangan. Dipanggilnya para pekerja itu untuk melahap minuman itu. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline