Lihat ke Halaman Asli

Ambrosius Bili

Mahasiswa PPG Prajabatan Universitas Islam Malang

Sudahkah Pendidikan Indonesia Memerdekakan Generasinya?

Diperbarui: 17 Juni 2023   01:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto: Ambrosi

"Bila kau tidak lahir sebagai bangsawan atau hartawan, asahlah pedangmu agar kau menjadi salah satu dari keduanya" kalimat tersebut adalah sebuah nasihat yang pernah eksis pada masa-masa perang dunia pertama dimana keadaan saat itu mendefenisikan kehidupan manusia dalam kalimat berjuang hidup dan atau bertahan hidup, membunuh atau dibunuh. Pada masa kini, kalimat ini masih berlaku hanya saja berkamuflase menjadi  "Bila kau terlahir tidak sebagai pewaris, ambillah pena dan buku agar kau menjadi perintis". Ya, demikianlah hidup dan zaman bergejolak merubah segala sesuatu sesuai dengan waktu sehingga pemikiran, prinsip dan gaya hidup manusia akan terus bergerak menuju perubahan-perubahan itu. Segala sesuatu dibawah kolong langit diatas bumi ini tidak ada yang kekal, semuanya berubah pada waktunya, dan hanya perubahan itulah yang  abadi. Dari kutipan kalimat dalam tanda kutip di atas sebagai petuah dengan jelas menerangkan bahwa masa kini adalah zaman dimana pendidikan yang pada masa lampau dianggap sebagai kebutuhan tersier tetapi kini disadari layaknya kunci utama untuk menjadi manusia yang ada, nyata, bermanfaat bagi diri sendiri, masyarakat, lingkungan, dan bahkan untuk peradaban dunia. Pendidikan kini berada pada level sebagai kebutuhan primer bagi kemajuan suatu bangsa dalam segala sektor yang mendukung keberadaannya.

Foto: Ambrosi

Ketika kita menelaah sejarah pendidikan nasional, membayangkan, memikirkannya, maka terciptalah sebuah keyakinan bahwa sejatinya pendidikan di negeri ini selayaknya menjadi sesuatu yang benar-benar memerdekakan. Perlu diakui bahwa perjalanan pendidikan nasional telah mengarungi segala zaman yang menjadikannya kokoh sebagai patokan menuju tak terbatas dan melampaui nya. Semakin jauh menelaah maka kita ketahui bahwasannya dari masa ke masa pendidikan nasional seolah dipaksa untuk mengkonsumsi sesuatu yang sebenarnya tidak cocok untuk kesehatan bagi tubuh dan jiwanya. 

Layaknya tubuh manusia  yang di cekoki makanan yang tidak sesuai selera, tidak sesuai dengan kebutuhan, atau bahkan kelebihan dosis maka yang terjadi adalah muncul sakit penyakit yang menyebar ke seluruh organ tubuh dan tanda-tanda yang muncul ialah seperti kurangnya daya tahan tubuh, mudah lelah, dan akhirnya reaksi tubuh pun mengeluarkan zat-zat yang tidak bermanfaat melalui muntaber dan lain sebagainya. 

Hal ini terjadi dalam pendidikan nasional pada masa lampau yang dipaksa menggunakan sistem barat, mengadopsi konsep-konsep Eropa yang sebenarnya tidak cocok di terapkan pada pendidikan di Nusantara. Kenyataannya terlihat pada output yang dihasilkan oleh pendidikan berupa peserta didik yang memang dengan karakter eropa atau secara gamblang dapat dikatakan output dari kolonialisme. Meski tidak dapat disangkal bahwa banyak juga output yang dihasilkan berupa insan-insan nasionalis yang pada akhirnya menjadi "founding father" bagi Indonesia. 

Misalnya Sang Proklamator dengan rekam jejak pendidikannya dikenyam di bangku sekolah-sekolah Eropa seperti ELS (Europeesche Lagere School), lalu Hoogere Burger School (HBS), dan pada akhirnya Technise Hoogeschool te Bandoeng, atau yang sekarang dikenal dengan ITB. Hal ini perlu di apresiasi meski bila di telusuri lebih dalam dan masuk pada tujuan sekolah-sekolah tersebut bertitik berat pada "menciptakan manusia Indonesia yang berpendidikan sebagai tenaga kerja murah untuk hegemoni penjajah dan untuk menyebarluaskan kebudayaan Barat". 

Hal ini tentu bertolak belakang dengan tujuan pendidikan yang sebenarnya yakni memerdekakan secara lahir dan batin. Masa silam telah berlalu, dan kini melalui seorang "pribumi" dengan gelar Raden Mas atau lengkapnya Raden Mas Soewardi Soerjaningrat yang menjelma Ki Hadjar Dewantara akhirnya pendidikan Indonesia yang sebenar-benarnya menetas setelah sekian di erami dalam diam dan ketakutan. 

Ya, Ki Hadjar Dewantara (KHD) menjadi perintis pendidikan negeri ini dalam pemikiran-pemikirannya yang nasionalis (meskipun, ia juga adalah hasil didikan Eropa (ELS)) memulai segala sesuatu dengan berakar pada sistem dan metode atau konsep-konsep budaya Indonesia. Pendidikan yang pada mulanya jauh dari kebudayaan Indonesia namun semenjak KHD aktif dalam dunia pendidikan, sistem baru ditumbuhkan dan berhasil diwarnai sebagaimana dalam mimpi-mimpi masyarakat Indonesia pada umumnya. 

Pertumbuhan pendidikan dimulai, lembaran baru dibuka, sejarah pendidikan Indonesia kini dilukis oleh tangan anak bangsa, Taman Siswa menjadi saksi, "Tut Wuri Handayani" berkisah, berkicau hingga saat ini sebagai semboyan Kementerian Pendidikan. Meski dalam usia yang seumur jagung itu pendidikan yang baru saja "pecah telur" kini sulit mengepakan sayapnya. Banyak kalangan terutama pemerintah Benda yang menganggap pendidikan berfilosofi Indonesiasentris itu hanya sebagai bentuk perlawanan pribumi, Taman Siswa bahkan di cap sebagai sekolah liar.

Foto: Ambrosi

Bercermin dari perjalanan pendidikan nasional yang telah merasakan asam, pahit, dan asinnya mengarungi zaman, demikianlah pendidikan nasional tanpa gentar terus dibenahi. Segala upaya dilakukan agar irama pendidikan sesuai dan selaras dengan jiwa nusantara meski pada beberapa pandangan berupa kritikan dari dalam juga sesekali bergojalak misalnya dengan mengatakan bahwa pemikiran-pemikiran KHD sebenarnya hanya berkisar pada budaya-budaya Jawa sehingga pendidikan nasional itu sebenarnya pendidikan yang Jawasentris, namun pendapat tersebut membutuhkan berjilid-jilid argumen untuk di perdebatkan. 

Bagaimana tidak, sedangkan pendidikan yang dimaksud oleh KHD secara menyeluruh selalu berlandas pada pancasila bersamaan dengan nilai-nilai luhur nasionalisme. Pada kenyataannya, hingga saat ini pendidikan yang merupakan cerminan Bangsa Indonesia tentu akan selalu berada dibawah bayang-bayang pemikiran KHD. Pemikiran-pemikiran yang mendalam itu selalu tentang pendidikan yang pancasilais, memerdekakan, berakar kuat pada kebudayaan nasional, itulah pendidikan nasional yang seharusnya bertumbuh dengan subur hingga saat ini. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline