Lihat ke Halaman Asli

Ambar Wulandari

ambarwulandari79@gmail.com

Strategi Membangun Pikiran Kritis

Diperbarui: 2 November 2021   14:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

cikimm.com

A. Definisi Berpikir Kritis

Berpikir kritis adalah sebuah keterampilan kognitif yang memungkinkan seseorang untuk menginvestigasi sebuah situasi, masalah, pertanyaan atau fenomena untuk bisa membuat sebuah penilaian atau keputusan. Berpikir kritis adalah sebuah hasil dari salah satu bagian otak manusia yang sangat berkembang, yaitu the cerebral cortex, bagian luar dari bagian otak manusia yang terluas, dan the cerebrum (otak depan).

Dalam buku yang berjudul Beyond Feelings: A Guide to Critical Thinking, Vincent Ryan Ruggiero mengatakan bahwa ada tiga aktivitas dasar yang terlibat dalam pemikiran kritis, antara lain yaitu:

  • menemukan bukti
  • memutuskan apa arti bukti itu
  • mencapai kesimpulan berdasarkan bukti itu.

Dari situ yang biasanya harus ditempuh untuk membiasakan diri berpikir kritis, antara lain sebagai berikut:

 1. Melakukan tindakan untuk mengumpulkan bukti-bukti

Bukti adalah suatu hal yang bersifat empiris (bisa kita lihat, sentuh, dengar, dan dicium) ataupun berbagai bentuk fakta yang dapat kita peroleh dari sebuah otoritas, kertas riset, statistik, dan informasi lainnya. Tetapi, yang paling penting adalah mendapatkan bukti secara langsung (empiris). Karena, bukti dari pihak kedua kadang patut dicurigai. Sedangkan, bukti yang kita temukan sendiri secara langsung dari indra kita tidak dapat dibantah.

2. Menggunakan otak bukan perasaan (berpikir logis)

Membiasakan berpikir logis merupakan jalan penting untuk menemukan pikiran kritis. Kebanyakan manusia belum mampu berpikir rasional, apalagi di tengah serangan irasionalitas media seperti zaman sekarang ini. Oleh karena itu, berpikir kritis harus dibiasakan. Logika bukanlah sebuah kemampuan yang dapat berkembang sendiri, melainkan merupakan sebuah skill atau disiplin yang harus dipelajari dan dilatih, baik dalam pendidikan formal maupun dalam kehidupan sehari-hari kita.

3. Skeptis

Skeptis adalah rasa ragu karena adanya kebutuhan atas bukti. Artinya, tidak percaya begitu saja sebelum menemukan bukti yang kuat dan kadang bukti itu harus ditemukannya sendiri. Ini adalah suatu elemen yang sangat penting bagi pemikiran kritis. Skeptisisme bukanlah sinisme, dan sayangnya sering disalahartikan, dengan mengatakan keduanya itu sama. Padahal, keduanya berlawanan arti. Skeptisisme adalah sebuah pembenaran bahwa ada kebenaran dan objektivitas di dunia ini, hanya saja sulit untuk ditemukan. Artinya, skeptisisme akan mendorong seseorang untuk mencari kebenaran. Sedangkan, sinisme ditandai dengan anggapan "semua orang bisa dimanfaatkan". Karena sinis, ia tidak percaya pada siapapun dan tidak ada niat untuk mencari kebenaran. Oleh karena itu, dianggap percuma.

B. Kekuatan Pengetahuan Objektif

Menganalisis adalah kegiatan yang manusiawi dan sekaligus menjelaskan eksistensi manusia yang berbeda dengan binatang atau benda mati. Aristoteles seorang filsuf terkenal, mengatakan bahwa nalarlah yang membedakan manusia dengan binatang, sedangkan seluruh fungsi tubuh yang lain sama dengan binatang. Binatang tidak bisa menggunakan rasio dan benda mati hanya menuruti perlakuan dari luar dirinya. Naluri (insting) utama manusia antara lain adalah rasa ingin tahu. Dari sini kita memperoleh suatu gambaran dari manfaat berpikir kritis, yaitu memiliki independensi (kemerdekaan) dan otonomi (kedaulatan) diri, tidak semata-mata tergantung pada kekuatan yang dijalankan orang lain.

Kita bisa melihat realitas masyarakat kita yang sejak dulu kala selalu diwarnai dengan kebodohan dan tidak memiliki analisis kritis. Mereka sangat mudah dijajah, dibohongi, dan di manfaatkan oleh kekuatan yang ingin mengambil keuntungan sendiri. Bisa kita ambil contoh pada zaman corak kerajaan, tanpa berpikir rakyat begitu mudah dibohongi dan ditipu oleh para tuan tanah, kaum raja dan bangsawan, serta para pembantunya. Raja dianggap wakil dewa atau Tuhan di muka bumi, hanya ia dan orang-orang sekitarnya yang berhak mendapatkan kekayaan. Rakyat jelata (tani hamba) harus bekerja keras dan hasilnya harus diserahkan pada kerajaan. Bahkan, semua yang ada di muka bumi dianggap milik raja-raja dan rakyat hanyalah sebagai budak. Mengapa penindasan semacam ini terjadi? Mengapa rakyat begitu menggantungkan nasibnya pada raja dan kaum bangsawan? jawabannya jelas karena mereka bodoh dan dibodohi, tidak dapat berpikir kritis, dan memang oleh para penindas berusaha di tumpulkan otaknya.

Tetapi, bayangkan seandainya semua manusia memiliki pengetahuan dan mampu mengembangkan teknologi, tidak seperti sekarang ini dimana sangat banyak orang yang tidak mendapatkan pengetahuan (tidak bisa sekolah karena biayanya mahal), tentu kualitas kehidupan ini akan lebih maju, banyak hasil yang didapat karena pemikiran manusia kreatif dan produktif, serta dapat diwujudkan dalam bentuk karya-karya seperti teknologi, sastra, dan berbagai kreatifitas lainnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline