Lihat ke Halaman Asli

Cerita Lain Tentang Mas, Cak dan Akang Pepi (h)

Diperbarui: 26 Juni 2015   19:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Paling tidak saya merasa ‘kenal’ dengan tiga orang yang bernama Pepih. Pepi, yang komedian yang bertubuh sentosa, biasa muncul di acara tawa sutra. Lalu kang Pepih yang admin Kompasiana dan Pepi yang juragan ikan. Semua orang hebat. Tapi kalau saya ditanya siapa diantara tiga ‘Pepih’ itu yang paling hebat. Saya terus terang ‘speechless’. Ini seperti ditanya, siapa yang paling pintar antara Rudy Hartono yang maestro bulutangkis, Rudy Hadisuwarno yang penata rambut beken itu dan Rudy yang pandai fisika. Seperti juga ketika harus memilih bunga apa yang paling cantik diantara Mawar, Tulip dan Anggrek Bulan.

Setiap anak lahir dengan kehebatan serta kelebihannya sendiri. Itulah yang membuat masing-masing anak adalah pribadi yang unik dan uncomparable. Sama seperti sidik jari milyaran orang di dunia ini, tak ada yang identik. Semua memiliki keontetikan sendiri yang pasti tak sama. Perbedaan adalah berkah karena dengan perbedaanlah kita mampu mengenali orang lain.

Selayaknya, keragaman inilah yang melandasi pijakan pendidikan nasional dalam menyusun kurikulum. Tiap anak berhak mendapatkan pendidikan yang sesuai dengan minat, bakat serta kemampuannya. Tapi apa yang kita saksikan saat ini? Atas nama pendidikan nasional, semua hal diseragamkan. Lihatlah saat pembagian rapor atau saat kelulusan sekolah mulai SD sampai SMU. Pendidikan kita ‘seolah’ hanya merayakan keberhasilan mereka yang dianggap piawai dalam bidang akademik, berhitung, bahasa, sains juga ilmu sosial. Sementara mereka yang unggul dalam bidang kesenian, olahraga, kriya dan keunggulan kreatif lain dianggap sepi. Mereka yang mendapat rangking juga ‘hanya’ mereka yang pandai secara akademik.

Cermati juga bidang studi yang diujikan dalan ujian nasional. Matematika, sains, bahasa dan ilmu-ilmu sosial dan budaya. Kecakapan anak-anak di luar bidang akademik, tak terwakili dalam materi ujian nasional. Jika demikian, sebenarnya untuk siapa UJIAN NASIONAL diselenggarakan? Untuk apa UJIAN NASIONAL dilaksanakan?

Kembali ke cerita mas, cak dan akang Pepi (h). Kalau saja sekolah ‘mengakui’ keunggulan serta keunikan tiap anak didiknya, maka betapa anak-anak Indonesia akan menjadi pribadi yang lebih percaya diri dan kreatif. Seperti kata Dorothy Law Nolte, apabila seorang anak terbiasa diterima maka dia belajar untuk hidup berdamai dengan dirinya sendiri. Maka adalah hal mudah jika kita ingin menemukan anak-anak yang berkemampuan (bahkan lebih) daripada komedian Pepi. Bukan hal sulit jika kita akan berjumpa dengan anak-anak yang memiliki kemampuan bersosialisasi mengagumkan hingga ia kelak berkembang sebagai wirausahawan yang sukses macam cak Pepi yang juragan ikan—bukankah negeri ini lebih butuh sejuta wirausahawan baru untuk menciptakan lapangan pekerjaan daripada sejuta politisi?. Akan mudah menemukan anak-anak berbakat yang memiliki kemampuan ‘menyihir dengan kata-kata’ seperti yang dipunyai admin kita, akang Pepih.

Juga bakal gampang menemukan Pepi (h) yang pelukis, kartunis, ilustrator, motivator, web designer, penari, aktor, penulis dan sederet profesi kreatif lain yang akan lahir dari kelas yang dinamis dengan anak-anak yang senantiasa terakui kecakapannya. Bukan kelas-kelas yang terkadang dihiasi fenomena tawuran antar pelajar, kesurupan massal atau juga wajah-wajah penuh ketegangan menantikan saat-saat ujian nasional tiba sembari menenggelamkan diri dari satu bimbingan belajar ke bimbingan belajar yang lain, demi selembar ijazah!

Bukankah hakekat pendidikan adalah memanusiakan serta memuliakan manusia?Masing-masing pribadi yang bernama Pepi (h) adalah hebat, tiap manusia yang berlabel Rudy juga tak kalah hebat, semua anak adalah pribadi yang hebat, maka akui dan rayakanlahkeunggulan serta keunikannya, karena merekalah pewaris masa depan.

Selamat Hari Anak Internasional! Salam kreatif

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline