Abstrak
Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) merupakan sebuah organisasi aliran islam minoritas Indonesia yang telah menerima perbuatan intoleran di berbagai wilayah Indonesia, salah satunya adalah perusakan Masjid Al-Huda di Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat. Sebagai salah satu non-derogable right, negara memiliki kewajiban untuk menghormati, memenuhi dan melindungi hak beragama umat JAI Pelaksanaan kewajiban tersebut salah satunya pemerintah laksanakan melalui dikeluarkannya Surat Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri Nomor: 3 Tahun 2008, Nomor: KEP-033/A/JA/6/2008, Nomor: 199 Tahun 2008 (SKB 3 Menteri). SKB 3 Menteri mendasarkan bahwa umat JAI dilarang untuk menyebarkan aliran agamanya. Pembatasan hak beragama yang dilakukan SKB 3 Menteri tersebut adalah sesuai dengan hukum nasional dan hukum internasional yang berlaku pada Indonesia. Namun, pemerintah tetap memiliki kewajiban untuk melindungi dan memenuhi HAM umat JAI agar menghindari terjadinya pelanggaran terhadap HAM kelompok minoritas.
Latar Belakang
Meskipun memiliki semboyan Bhinneka Tunggal Ika, di Indonesia masih terdapat banyak pertentangan dan protes oleh masyarakat terhadap kelompok minoritas yang memiliki kepercayaan berbeda. Kurangnya rasa toleransi dalam masyarakat menimbulkan pergesekan antara masyarakat mayoritas dan suatu kelompok minoritas. Pergesekan antara masyarakat tersebut seringkali menimbulkan pelanggaran HAM atas kelompok minoritas. Sebagai penguasa, pemerintah memiliki kewajiban untuk menyelesaikan permasalahn tersebut demi terlindungan HAM seluruh kelompok masyarakat.
Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) merupakan sebuah organisasi aliran islam yang meyakini bahwa Islam akan mengalami kebangkitan melalui adanya Imam Mahdi. Adanya kepercayaan tersebut, beserta keberadaan nabi dan khalifah, para umat JAI menimbulkan banyak pertentangan oleh umat muslim pada umumnya, baik di Indonesia maupun di negara-negara lain. Di Indonesia, Jemaat Ahmadiyah telah mengalami beberapa peristiwa persekusi, pengusiran dan tindak kekerasan yang menyebabkan korban jiwa. Intimidasi terhadap kelompok minoritas JAI telah terjadi di berbagai wilayah Indonesia, seperti Cikeusik (Banten), Nusa Tenggara Barat dan Kalimantan Barat.
Permasalahan
- Bagaimana pelanggaran HAM dalam aksi perusakan Masjid Al-Huda?
- Bagaiamana korelasi dan implikasi dikeluarkannya Surat Keputusan Bersama 3 Menteri terhadap perlindungan Hak Asasi Manusia umat Jemaat Ahmadiyah Indonesia?
Pembahasan
Pada 3 September 2021, peristiwa intoleransi terhadap JAI kembali terjadi dengan dilakukannya perusakan terhadap Masjid Miftahul Huda JAI di Kecamatan Tempunak, Kabupaten Sintang oleh Aliansi Umat Islam dan warga lainnya. Peristiwa perusakan masjid tersebut dipersiapkan Kelompok Aliansi Umat Islam sejak 1 (satu) bulan sebelumnya, melalui ditandatanganinya Surat Kesepakatan Bersama Aliansi Umat Islam tertanggal 12 Agustus 2021 yang di dalamnya berisi permintaan kepada aparat untuk menindak tegas Jemaat Ahmadiyah di Kabupaten Sintang dalam waktu 3x24 jam ditandatanganinya surat tersebut. Meskipun Polres Sintang, Kejaksaan Negeri Sintang, Kodim Sintang, DPRD dan Kantor Bupati Kabupaten Sintang telah menerima surat tersebut, tidak terlihat ada tindakan mitigasi oleh pemerintah kepada umat Jemaat Ahmadiyah. Plt. Bupati Sintang bahkan meminta Jemaat Ahmadiyah Sintang untuk menghentikan aktivitas dan operasional pembangunan mesjid Jemaat Ahmadiyah yang sedang berlangsung.
Apabila dilihat baik dari segi hukum nasional maupun hukum internasional, kebebasan beragama merupakan salah satu hak asasi manusia yang bersifat kodrati, tidak bisa dilepaskan dari seorang individu dalam keadaan apapun. Pasal 28I ayat 1 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945) bahwa hak beragama adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Pasal 4 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 juga menegaskan hal yang sama, bahwa hak beragama adalah salah satu non-derogable right. Tidak hanya menegaskan adanya hak beragama sebagai non-derogable right, Pasal 29 UUD NRI Tahun 1945 juga menyatakan bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Atas adanya Pasal tersebut, dapat dinyatakan bahwa negara mengakui adanya hak beragama dan memiliki kewajiban untuk melindungi hak tersebut. Melihat dari segi hukum internasional, instrumen pokok HAM juga mengatur hal yang sama seperti hukum nasional. Pasal 18 Universal Declaration of Human Rights (UDHR) dan Article 18 ayat 1 International Covenenat on Civil and Political Rights (ICCPR) menyatakan bahwa setiap individu memiliki hak beragama, baik sendiri atau dalam masyarakat secara publik maupun pribadi. Secara lebih lanjut juga dinyatakan dalam Pasal 18 ayat 2 ICCPR bahwa tidak seorang pun boleh dipaksa yang akan mengganggu kebebasannya untuk menganut agama atau kepercayaan pilihannya. Selain itu, Pasal 2 ayat 2 International Covenant on Economic Social and Cultural Rights (ICESCR) bahwa negara berusaha menjamin untuk tidak mendiskriminasi agama seseorang.
Perusakan tempat ibadah suatu golongan merupakan pelanggaran HAM. Meskipun prinsip dasar perlindungan HAM adalah melindungi kebebasan individu, pengutamaan individu dalam HAM tidaklah bersifat egoistik. Hal tersebut berarti bahwa meskipun seseorang dibebani hak untuk menjalani hidupnya, ia juga dibebani kewajiban untuk menghormati hak orang lain.