Lihat ke Halaman Asli

Palestina Setelah Deklarasi Trump, "Deal of The Century"

Diperbarui: 24 Desember 2017   08:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh : M.Anis Matta

Sidang Umum PBB pada 21 Desember 2017 secara mayoritas menolak Deklarasi Trump menjadikan Yerusalem sebagai ibu kota Israel. Deklarasi itu ditolak oleh 128 negara, sementara Amerika Serikat hanya didukung delapan negara, dan sisanya sebanyak 35 negara menyatakan abstain.

Namun rasanya Trump tetap akan berjalan dengan keputusannya. Trump tidak akan peduli dengan penolakan mayoritas anggota PBB itu. Artinya langkah Trump sangat serius. Ini bukan sekedar janji kampanye, tapi bahkan lebih tampak sebagai ambisi "memasuki sejarah" dengan menuntaskan mimpi Israel Raya. 

Apa sebenarnya ide di balik Deklarasi Trump itu yang telah membuat Amerika Serikat dan Israel justru semakin terisolasi secara internasional?

Memang Trump tetap menegaskan menerima ide "Two State Solution", tapi jauh dalam benak kaum Zionist Radikal ide itu bertentangan dengan ide dasar Israel Raya yang batas wilayahnya terbentang dari Sungai Nil di Mesir hingga Sungai Efrat di Irak, merangkai seluruh wilayah Jordan, Syria, Lebanon, Kuwait dan sebagian besar wilayah Saudi Arabia. Batas itulah yang dulu diimpikan oleh Theodor Herzl, pendiri Negara Israel. Palestina dalam pengertian itu seharusnya lenyap dari peta.

Sebagian dari rencana itu dicapai dengan menciptakan proxy state yang berfungsi sebagai bumper dan tempat penampungan imigran Palestina seperti Jordan, atau perlindungan keamanan seperti Mesir.

Sebagian lagi dicapai melalui proyek Balkanisasi atau menciptakan konflik berkesinambungan di negara-negara perlawanan seperti Irak, Iran, Syria, Lebanon dan Turki. Koflik sektarian Sunni Syiah seperti dalam perang Iran-Irak tahun 1980-1988, konflik etnis Kurdi yang populasinya mencapai 40-an juta orang yang tersebar di Turki, Irak, Syria dan Iran, serta dorongan mendirikan negara Kurdi yang merdeka seperti dalam referendum Kurdi Irak beberapa bulan lalu.

Konflik perbatasan seperti dalam aneksasi Irak katas Kuwait tahun 1990 yang kemudian memicu Perang Teluk Pertama tahun 1991, disusul kemudian dengan invasi Amerika ke Irak tahun 2003, lalu konflik Arab Spring dan Kontra Arab Spring sejak tahun 2013 hingga saat ini di seluruh kawasan Timur Tengah.

Sekarang, kawasan itu menjadi spot konflik global paling berdarah dan berlarut, melibatkan hampir semua kekuatan global termasuk Rusia yang paling terakhir terlibat. Sebagian lagi dicapai dengan melokalisir isu Palestina menjadi isu domestik dan menjadikan itu alasan untuk mendorong negara-negara Arab, khususnya Teluk, dan Islam lainnya untuk tidak terlibat atau hanya mendukung Palestina secara pasif.

Di dalam Palestina sendiri kita menyaksikan gelombang imigrasi dari luar ke dalam dan dari dalam keluar. Orang-orang Yahudi yang tidak punya tanah air dan berdiaspora di berbagai belahan dunia terus berimigrasi ke Palestina dan hingga kini menduduki sekitar 78% lahan, sementara orang-orang Palestina meninggalkan tanah air mereka dan keluar berdiaspora ke berbagai  belahan dunia karena lahan yang mereka kuasai tinggal 22% saja.

Dari total 12,706.000 penduduk Palestina, 6.290.000 orang berimigrasi ke berbagai negara. 5.595.000 orang diantaranya ke negara-negara Arab tetangga dan sisanya sebanyak 695 ribu di negara-negara non Arab. Sementara yang 'bertahan' di dalam Palestina hanya sekitar 4.884.000 orang tersebar di Jalur Gaza dan Tepi Barat, dan sisanya sebanyak 1.532.000 orang orang "tertahan" di dalam wilayah Palestina yang dikuasai Israel tahun 1948.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline