Biawak Kalimantan adalah salah satu biawak endemik asli pulau Borneo juga dikenal sebagai biawak tanpa telinga “earless monitor”. Meskipun disebut biawak, ukurannya sangat kecil jika dibandingkan dengan biawak pada umumnya. Biawak tersebut memiliki nama ilmiah Lanthanotus borneensis, yang pertama kali di temukan oleh ahli zoologi bernama Franz Steindachner pada tahun 1877 di Sarawak, Malaysia. Biawak ini terdistribusi di Malaysia (Sarawak), Brunei Darussalam (Temburong), dan Indonesia (Kalimantan Barat). Sejak penemuan awalnya, satwa ini sudah menjadi incaran para kolektor karena memiliki keunikan dan sering dikatakan sebagai fosil hidup hingga menjadi salah satu komoditas perdagangan yang cukup diminati di luar negeri sebagai hewan peliharaan ataupun hewan uji.
Karena pertama kali ditemukan di Sarawak (Malaysia), pada awal tahun 1971 sesuai dengan keputusan yang dibuat oleh Gubernur Sarawak, biawak ini dimasukkan ke dalam Pasal 37 (2) dari Wildlife Protection Ordonansi, dinyatakan sebagai bagian dari First Schedule of Protected Animals, sehingga mereka sepenuhnya dilindungi dari kegiatan eksploitasi. Pada tahun 1998, biawak ini secara resmi ditambahkan ke dalam daftar "Totally Protected Species". Sebagai hasilnya, hewan ini dilarang untuk diperjual belikan, dan siapa pun yang melanggar dapat dikenakan denda hingga 25.000 Ringgit atau sekitar Rp. 80.000.000 dan dapat dipenjara selama 3 tahun.
Begitu juga tahun 1978 Pemerintah Brunei Darussalam memasukkannya dalam 15 spesies yang dilindungi tertera dalam Undang-Undang Perlindungan Satwa Liar Brunei Darussalam. Sehingga setiap orang yang menjual atau mengekspor, didenda 2.000 Dollar Brunei atau sekitar Rp. 20.000.000 dan dihukum satu tahun penjara.
Di Indonesia sendiri, satwa ini juga telah dilindungi berdasarkan Peraturan Pemerintan No. 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan dan Perlindungan Satwa, ia terdaftar dengan nama ilmiah Varanus borneensis.
Saat ini biawak kalimantan termasuk dalam spesies yang dilindungi oleh Pemerintah Indonesia melalui P.106/MENLHK/SETJEN/KUM.1/6/2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa Dilindungi. Sanksi bagi pelanggarnya adalah didenda Rp. 100.000.000 dan dipenjara selama 5 tahun. Bahkan CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora) merupakan asosiasi internasional yang mengatur mengenai perdagangan tumbuhan dan satwa pada tahun 2017 memasukkannya dalam Appendix II non kuota alam, yang berarti semua hasil tangkapan alam tidak digunakan untuk komersial.
Peraturan perlindungan dan perdagangan tersebut belum mampu menangani oknum-oknum yang memang mencari pendapatan dengan perdagangan satwa, khususnya untuk biawak kalimantan. Tahun 2008 tim konsultan Daemeter melakukan survei untuk penilaian Nilai Konservasi Tinggi (NKT) di Kabupaten Landak dan Sanggau (Kalimantan Barat), dan secara tidak sengaja menemukan biawak ini. Sehingga sejak laporan tim konsultan Daemeter tersebut dipublikasikan pada tahun 2012, dimungkinkan menjadi umpan balik dan minat kolektor ke Kalimantan Barat, Indonesia. Hal tersebut juga diperkuat dengan adanya Grup Pecinta Reptil dari Facebook yang diketahui menjual biawak ini mulai tahun 2012. Dalam kurun waktu 2015-2022, setidaknya ada 10 kasus dengan total penemuan 59 ekor biawak selundupan yang berhasil digagalkan oleh Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kalimantan Barat, Balai Karantina Pertanian Bandara, Keamanan Burung Bandara, Kepolisian Negara Republik Indonesia dan pihak swasta (Borneo Trans Mandiri)5.
Sepanjang tahun 2023 tidak ada temuan penyelundupan satwa ini. Namun awal tahun ini, tanggal 9 Maret 2024 sudah ada satu kasus penyelundupan yang berhasil digagalkan oleh Satreskrim Polresta Pontianak bekerja sama dengan BKSDA Kalimantan Barat. Ada 40 ekor biawak kalimantan. Jumlah ini tentu menjadi kasus penemuan terbanyak dalam sekali penangkapan.
Mengapa perdagangan ilegal ini terus terjadi? Apa penyebabnya?
Salah satu Desa di Kalimantan Barat yang menjadi lokasi distribusinya adalah Desa Angan Tembawang, Kecamatan Jelimpo, Kabupaten Landak, Provinsi Kalimantan Barat. Desa tersebut menjadi salah satu lokasi perburuan biawak ini. Mayoritas mata pencaharian warga di desa tersebut adalah bertani padi dan berkebun kelapa sawit. Dalam setahun mereka menanam dan panen sebanyak dua kali. Begitulah normalnya, namun pada nyatanya masyarakat juga sering mengalami gagal panen. Sehingga hasil panen mereka cenderung tidak mencukupi untuk waktu lama.
Sebagai salah satu suku yang masih bergantung dengan hutan, berburu merupakan kegiatan alternatif yang bisa dilakukan karena juga merupakan tradisi yang diwariskan. Karena biawak kalimantan yang memiliki nilai juga ada di lokasi tersebut, ia juga menjadi hewan target. Biawak yang ditangkap akan dibeli oleh pengepul, sehingga warga bisa memenuhi kebutuhan primer mereka. Berkaitan dengan bertahan hidup, hal tersebut merupakan hal yang lumrah terjadi di Masyarakat Indonesia.
Berdasarkan informasi yang kami dapatkan, biawak kalimantan dikenal dengan sebutan “paapa”. “Sejak 2015 sampai akhir 2019 harga biawak ini mencapai Rp. 1.500.000/ekor, tapi 2020 sampai sekarang, harganya turun menjadi paling mahal Rp. 200.000/ekor dan dengan syarat individu yang didapatkan tidak dalam kondisi cacat” ucap Sudarno.