Lihat ke Halaman Asli

Shita Rahmawati Rahutomo

Corporate Communication, Corporate Secretary, Public Relation, ex jurnalis, akademisi, penulis, blogger, reviewer.

Kesadaran Pribadi yang Menjadi Kesadaran Kolektif adalah Motor Gerakan Budaya Bersih dan Senyum Indonesia

Diperbarui: 15 Maret 2022   15:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kalau kita memasuki sebuah rumah yang begitu buka pekarangan  disambut dengan ramah dan penuh senyum oleh pemiliknya, lalu disuguhi pemandangan yang hijau-hijau segar, walaupun halamannya tidak luas, tapi dipenuhi tanaman hias yang dirawat dengan telaten,  ada bunga mawar yang merah merona, atau bunga bakung yang gampang perawatannya tapi cantik bunganya, atau bunga sepatu aneka warna, tak  ada sampah di halaman, bau rerumputan hijau basah disiram air, atau lihat buah mangga bergelantungan di pohonnya, pasti rasanya langsung cess… nyamannya tinggal di rumah itu. Perasaan langsung betah kan.

Begitu juga saat kita memasuki sebuah wilayah baru,orang-orangnya begitu penuh senyum, ramah, selalu sigap membantu pasti hati merasa tentram. Lalu kita lihat, jalan-jalannya bersih, tanpa lubang menganga, di kiri kanan jalan berderet-deret pepohonan hijau bergoyang daunnya tertiup angin, langit biru, udara cerah, angina sejuk semilir…. Tak ada sampah bau menggunung di tepi jalan, taka da orang yang seenaknya buang sampah di jalanan, tak ada graffiti kata-kata kotor dan kasar dengan warna menyolok mengotori dinding-dinding….tak ada bau pesing di sudut-sudutnya, orang-orang berkendara dengan tertib sesuai peraturan, bersabar saat pejalan menyeberang , ooh betapa tenang rasanya.

Tak bisa dipungkiri jika manusia suka melihat yang indah-indah. Manusia menikmati suasana yang tertib dan rapi. Syukur-syukur banyak terdapat taman kota di sudut-sudutnya yang membuat orang bisa melepaskan penat setelah seharian bekerja, atau sekedar bercengkerama dengan keluarga, sambil menikmati gemericik air mancur dan burung dara yang terbang rendah lalu hinggap mematuki bebijian yang kita taburkan. Suasana hening karena saling menghargai bahwa itu tempat bersama. Atau jika ada bebunyian, biarlah itu suara musik yang dimainkan secara langsung,  yang membuat pendengarnya  makin tentram jiwanya.

Dok. pribadi

Kualitas tempat tinggal mempengaruhi kulitas hidup kita. Lingkungan yang bersih, asri, rapi, tenang, adalah tempat yang tepat untuk memulihkan jiwa yang penat.  Lingkungan yang nyaman akan membuat betah penghuninya, terasah kreativitasnya, tersalur stressnya. Lalu siapakah yang harus menciptakan itu semua?

Pemerintah Pusat? Atau pemerintah daerah? Atau para petugas kebersihan? Atau kita?

Semua orang pasti tahu jawabnya. Kita. Ya…kita! Kumpulan individu-individu yang tinggal di wilayah itu yang bersatu padu dengan penuh kesadaran tinggi dan rasa tanggung jawab mengelola  wilayahnya. 

Apakah pemerintah tak perlu punya andil? Tentu saja, bahkan harus!

Tapi apa artinya ribuan petugas kebersihan, ribuan tong sampah dipasang di jalanan dan tempat umum, ribuan pohon ditanam untuk penghijauan, ribuan tempat penampungan disediakan jika kita tak peduli dengan lingkungan tempat kita tinggal?

Apa artinya ribuan petugas kebersihan jika kita tak punya kesadaran untuk membuang sampah pada tempatnya?  Jika kita bersikap egois mementingkan diri sendiri, tanpa memikirkan kepentingan orang lain? Apa artinya taman-taman kota dibuat dengan biaya besar, jika kita dengan entengnya menginjak-injak rumput dan tanaman yang dengan susah payah dipelihara dengan penuh cinta seperti kasus taman Bungur di Surabaya? Bukankah kita mahfum adanya saat Bu Risma marah karena segala kerja keras petugas tata kota berbulan-bulan dirusak hanya dalam beberapa jam saja?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline