TIDAK mudah sebuah negara maju dan plural seperti Indonesia dikendalikan sepenuhnya. Dari sisi teori, konstruksi regulasi dapat dilakukan. Berbeda dalam hal aktualisasi. Bahkan terjadi kontradiksi, antara visi dan realisasinya.
Pemerintah dengan narasi pembangunan. Mengharapkan agar rakyat bisa dimobilisasi menuju gerbang kemajuan. Tapi, selalu terhambat. Sekedar menjadi mimpi. Alhasil, tidak sedikit distingsi dan disparitas antara pemerintah dengan rakyat. Seharusnya satu kiblat, satu frekuensi.
Bergerak melakukan perubahan dan pembaharuan, bukan negara dibuat terpolarisasi. Saling dibenturkan dengan narasi perpecahan. Rakyat mestinya lebih maju, progresif dalam urusan-urusan menerima pelayanan terbaik dari pemerintah.
Pada sisi yang lain. Lahirnya media sosial juga menunjang narasi kebencian kian kuat. Bagai gelombang badai yang memukul mundur rakyat. Hasilnya, antara harapan rakyat dengan capaian yang diraih tidak seimbang. Pemerintah mengalami surplus pengetahuan, program, dan visi. Namun miskin dalam mewujudkannya.
Selanjutnya, bagaimana membangun pertahanan nasional dari sisi menangkal narasi liberalisme. Kencangnya infiltrasi gelombang pemikiran import, tidak semata yang ada kaitannya dengan paham produk Timur Tengah. Wahabi, khilafah, atau madzhab pemikiran radikalisme.
Ragam paham trans nasional itu sebetulnya menjadi sampah. Kadang kala, kita di Indonesia saja yang dibodohi. Sehingga merasa bangga bicara hak asasi manusia. Maunya berfikir mineral, dan gagah-gagahan dengan wacana toleransi, pluralisme. Ternyata, dibalik itu. Isme tersebut menyelipkan kepentingan "dakwah" sendiri.
Praktek propaganda dan perpecahan sosial direkayasa masuk di dalamnya. Akhirnya, rakyat Indonesia dibuat terbelah. Musuh rakyat juga tidak main-main dibenturkan antara Pancasila vs agama. Dengan dalil modernisme, globalisasi rakyat disodorkan paham toleransi yang kebablasan.
Tak jarang, rakyat kita saling memusuhi sesamanya. Memelihara sentimen. Kaum nasionalis menyerang kelompok yang dinilai "sok religius". Paham Timur Tengah dipertengkarkan dengan paham Barat. Berpandangan keagamaan, dicurigai pro teroris. Sementara disatu sisi, gejala kelahiran kembali komunisme menjadi ancaman.
Ramaihlah percakapan di ruang-ruang sosial. Kemelut yang lahir memang bukan karena dadakan. Melainkan by setting. Biar negara punya musuh bersama. Dalam waktu bersamaan rakyat kebingungan. Terhimpit atas bermacam klaim-klaim kebenaran yang penuh indikasi kepentingan politik.
Benturan ideologi dibuat menjadi begitu menghebohkan. Indonesia dimanfaatkan sebagai laboratorium, panggung untuk mempertengkarian ideologi tersbut. Maklum juga, karena kebanyakan kaum intelektual, pemimpin kita juga mudah dibuat terkecoh dengan by design percaturan kepentingan global.
Harusnya, sistem proteksi diperkuat. Jangan sampai Indonesia terus-menerus menjadi bahan observasi negara atau agenda tertentu. Dengan tujuan dibuat konflik. Lantas dari letupan-letupan konflik tersebut, mereka mengeruk kekayaan negara ini. Mereka mengambil faedah yang tidak sedikit. Rakyat lagi-lagi yang paling dirugikan dalam hal ini.