Lihat ke Halaman Asli

Amas Mahmud

Pegiat Literasi

Papua Tolak DOB, Distribusi Kesejahteraan Bermasalah

Diperbarui: 3 Mei 2022   15:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bung Amas Mahmud (Dokpri)


BUKAN
soal Daerah Otonomi Baru (DOB) yang diharapkan rakyat. Lebih dari itu adalah kesejahteraan. Rasa aman, perlakuan adil dari pemerintah yang menyentuh rakyat. Tangan pemerintah harus sampai ke pelosok Desa. Menggenggam, mengayomi rakyat secara adil. Rakyat Papua menolak pemekaran adalah tamparan telak bagi mereka yang sering memanfaatkan situasi untuk isu pemekaran daerah.

Buat apa, misalnya pelayanan pemerintah di dekatkan. Tapi, rakyat tetap hidup miskin. Melarat, lapar dalam suasana bumi yang kaya raya. Rasa aman rakyat terusik. Otonomi daerah adalah contoh pelayanan pemerintah yang secara simbolik dekat ke rakyat.

Ternyata, tak ada garansi kesejahteraan. Berarti percuma sebuah daerah dimekarkan, diotonomkan. Jika yang lagi hanya kesenjangan, dan kesenjangan baru yang melahirkan nasib rakyat terabaikan. Maka, layaklah kalau ada rakyat Papua yang menolak DOB. Karena dirasakan betul, itu bukan kebutuhan mereka.

Desakan dan dorongan pemekaran daerah di Indonesia, kebanyakan karena kemauan politik. Hasil kompromi, bagi-bagi tempat bagi politisi di daerah untuk mendapat jabatan. Spirit otonomi daerah kebanyakan hanya politisi. Rakyat ditarik dalam ruang legitimasi kepentingan politisi.

Bahwa seolah-olah yang minta daerah dimekarkan adalah rakyat. Aspirasi otonomi daerah didramatisir menjadi amat penting. Padahal realitasnya tidak. Rakyat tidak butuh otonomi daerah. Kesejahteraan, distribusi keadilan, rasa aman, dan perlakuan mulia, sikap hormat negara yang mereka minta.

Belum lagi, carut-marut ketimpangan dana bagi hasil dari pemerintah pusat ke daerah otonomi. Yang sebagian menjadi sumber korupsi. Lebih-lebih lagi jika suatu daerah masuk kategori OTSUS atau Otonomi Khusus. Anggaran yang mengalir tidaklah sedikit. Janggalnya, dalam realisasi anggaran dan fakta pembangunan tidak sebanding. Lebih besar pasak dari pada tiang.

Tak tahu, anggaran mengalirnya kemana?. Rakyat masih dililit kemiskinan. Keselamatan rakyat masih di bawah bayang-bayang teror. Begitu memprihatinkan, berarti ada yang salah. Bisa jadi sikap tidak serius mengurus rakyat menguasai pikiran elit pemerintah kita. Elit pemerintah dalam skala luas, dari pusat maupun daerah.

Niat dan orientasi otonomi daerah ternyata didompleng politisi. Konsekuensinya, otonomi daerah malah memperkaya politisi. Pemburu kursi kekuasaan, memberi keuntungan secara ekonomi pada segelintir orang. Lihat saja, reaksi publik yang beragam terkait apresiasi mereka terhadap DOB.

Ada yang meminta DOB. Ada yang malah menolak mentah-mentah. Untuk kasus rakyat yang menolak DOB, menarik untuk kita membacanya. Tentu banyak kepentingan bermain atau dimainkan juga disana. Kalau penolakan itu pure dari rakyat, berarti mereka telah bosan dengan retorika politisi. Otonomi daerah mereka anggap tidak urgen.

Dinamika ini perlu disikapi pemerintah pusat. Terlebih Kementerian Dalam Negeri untuk mengatur ulang, mendeteksi semangat otonomi daerah. Yang jangan-jangan dibangun atas nafsu politik segelintir elit politisi lokal saja. Lalu, mereka mendapat dukungan kuat dari pemerintah pusat. Ujung-ujngnya ada bargaining bagi hasil.

Publik berharap tidak demikian yang terjadi. Kemungkinan yang lain, ialah rakyat di pelosok belum memahami apa itu DOB atau pemekaran daerah. Sehingga sosialisasi untuk itu perlu diperkuat. Edukasi kepada rakyat bisa jadi belum maksimal dilakukan Kementerian Dalam Negeri dan juga pemerintah daerah.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline