Pembelahan politik di tanah air sangat terasa. Termasuk yang ikut berkontribusi memicu meningkatnya tensi politik ialah munculnya beragam isu, satire, bahkan saling klaim kebenaran di media sosial. Antara cebong dan kampret atau yang lebih tren disebut kadrun, begitu alot.
Cebong identik dengan para pemuja istana atau pemerintah. Apapapun yang terjadi, pemerintah tetaplah yang maha benar. Mereka bermetamorfosis, bermutasi sebagai buzzeRP.
Sementara Kadrun atau kadal gurun, yakni kelompok oposan. Lebih spesifik ditujukan kepada kelompok yang dituding radikal-teroris. Pihak yang dituduh selalu nyinyir dan emosional merespon kebijakan pemerintah. Kadrun dinilai tendensius, penghasut, intoleran, dan sinis pada pemerintah.
Kadrun sesuai ciri-ciri yang dilabelkan cebong yaitu mereka yang memakai celana cingkrang. Mereka yang memakai jubah agama untuk kepentingan politik. Mereka yang memakai cadar bagi perempuan. Yang pria memakai peci, jidat hitam, dan simbol-simbol yang melekat pada umat Islam.
Sebetulnya, inilah percakapan yang ambigu. Penuh friksi, saling mengadu dan membenturkan hal-hal sensitif demi politik. Tapi, disatu sisi cebong dan kadrun masing-masing merasa paling benar. Paling berkonstribusi terhadap kehadiran Indonesia dan kemajuannya.
Bahkan sampai yang teraktual muncul diksi "anarko" atau anarki yang dilabelkan pada kelompok mahasiswa pendemo. Terlalu sempit tafsirannya. Padahal bisa dirunut, anarko atau kelompok anarkisme. Mereka yang mentradisikan kekerasan sebagai jalan mencari solusi, bukanlah kesalahan rakyat. Apalagi mahasiswa yang terdidik. Sangat jauh dari iklim dan nilai-nilai akademis, kampus.
Siapa dalang yang membuat kegaduhan di negeri ini?. Pertanyaan ini akan menjadi debatable. Baik menurut cebong maupun kadrun. Dua-duanya akan saling menyalahkan, merasa "paling suci" tak ada salah. Mereka menempatkan dirinya sebagai sumber kebenaran.
Walaupun nyatanya dialektika bernegara yang mereka bangun melalui narasi kebencian, memberi dampak lahirnya fragmentasi. Keterbelahan sosial terjadi, karena masing-masing mereka saling serang tanpa henti. Samuanya, kalau ditarik dalam kepentingan politik, nyaris sama.
Fragmentasi politik disini lebih diartikan sebagai perpecahan, pembelahan, dan polarisasi politik. Yang tidak hadir sendiri. Lanjut kita korek praktek yang dilakukan cebong misalnya, dengan percaya diri "menepuk dada", merasa paling Pancasilais.
Konyolnya, menuding pihak yang berpendapat berbeda dengan kelompoknya sebagai anti Pancasila. Tidak Pancasilais, terduga teroris, radikalis, dan mereka menyebut kadrun. Tuding menuding, akhirnya terus berlanjut. Kadrun tidak diam, mereka juga bereaksi.
Mencari cara untuk tetap menjaga eksistensi. Menuding balik bahwa cebong anti kritik. Cebong anti perbedaan pendapat, dan cebong anti demokrasi. Kaku, bahkan alergi terhadap perbedaan pandangan yang dilindungi Undang-undang. Cebong disebut sumbu pendek.