Lihat ke Halaman Asli

Amas Mahmud

Pegiat Literasi

Rekonstruksi Kesadaran Elit, Respon atas Tulisan AM Hendropriyono

Diperbarui: 1 Februari 2022   13:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

AM Hendropriyono (Dok Detik.com)


Judulnya "Imoralitas Kelompok Orang Bodoh" ulasan yang ditulis AM Hendropriyono yang dimuat di Detik.com, 31 Januari 2022. Sebagai antitesis dari itu, mestinya hadir "ratu adil". Kelompok yang berkesadaran tinggi untuk meningkatkan rasa saling peduli, rasa ibah dan solidaritas sosial.

AM Hendropriyono menggambarkan tentang perilaku barbar. Perilaku buruk masyarakat kita. Tindakan pengeroyokan yang disebutkannya imoralitas kelompok orang bodoh. Lebih jauh kalau diinterpretasi, imoralitas kelompok orang bodoh bermakna sangat destruktif, mendiskreditkan kelompok masyarakat.

Sudah tidak bermoral, lalu berkelompok dan juga bodoh. Miris gambarannya tersebut. Bagi saya, ini kesalahan pemerintah. Kenapa rakyat bertindak membabi-buta, main hakim sendiri, karena sebagian mereka tidak lagi mempercayai hukum (positif) di negara ini. Proses penegakan hukum yang dinilainya hanya pro pada kaum berduit. Harusnya, reaksi dari pengoroyokan dan tindakan anarkisme masyarakat ditafsir sebagai kelalaian negara.

Pemerintah kita gagal memberikan contoh teladan dan kepastian hukum pada masyarakat. Saatnya pemerintah lagi dan lagi berbenah ke dalam. Untuk memperbaiki kekurangan. Baik di sektor penerapan hukum, distribusi keadilan, distribusi kesejahteraan dan pembangunan. Masyarakat yang merasa didiskriminasi tentu akan bertindak sendiri dengan cara berfikirnya. Kita semua tidak mau itu terjadi.

Rasa hormat, berfikir jernih dan menghormati hukum tidak dikedepankan. Reaksi massa, sikap curiga masyarakat juga tidak bisa lepas dari cermin kepemimpinan kita di Indonesia. Pengeroyokan di tengah masyarakat terjadi berupa saling serang antara mayoritas dan minoritas. Sebagiannya tidak tahu menahu tentang masalah tertentu. Namun karena terpicu amarah dan provokasi, akibatnya ikut bertindak brutal.

Berbeda dengan praktek "gerombolan" keroyok di tingkat elit politik. Kita ambil contoh dalam konstalasi politik di DPR RI, kubu koalisi pemerintah lebih dominan. Secara kuantitas menyaingi kubu oposisi. Jika ditarik dalam konteks "pengoroyokan", maka perilaku ini juga dianut elit pemerintah, dan elit politik kita. Alhasil, kebenaran-kebenaran di depan mata diabaikan.

Hajar dulu barulah mengkonfirmasi atau tabayyun. Potret ini yang nampak kita saksikan di tengah masyarakat. Nyaris sama dengan perilaku politisi kita. Mereka menghajar atau bicara lebih dahulu, meski kontroversial. Setelahnya baru meminta maaf ke publik. Sebuah kemiripan untuk nilai-nilai yang merusak kebersamaan kita seperti ini perlu diakhiri.

Pemerintah bertanggung jawab atas problem kemasyarakatan tersebut. Sangat kompleks, dan sewajarnya pemerintah tidak boleh menyalahkan itu secara mutlak kepada masyarakat. Elit pemerintah perlu lagi peka, meningkatkan political will. Sederhananya bila pemerintah disiplin, layak dicontoh untuk berbuat baik, keteladanan itu akan ditiru rakyat.

Pak AM Hendropriyono menaruh perhatian, prihatin, dan otokritiknya terhadap perilaku menyedihkan terhadap perilaku main hakim yang terjadi di tengah-tengah masyarakat.

Pengeroyokan dilakukan jika terjadi pencurian (perampokan), kenakalan, dan praktek yang merugikan masyarakat. Kepekaan Pak AM Hendropriyono penting menjadi perhatian, perlu tindaklanjut dari pemerintah.

Kita tidak sekedar sedih, mengutuk keadaan atau menyesali perbuatan oknum masyarakat yang suka anarkis mengeroyok. Sebagai negara hukum, mestinya penyelesaian masalah dilakukan secara hukum. Bukan main hakim sendiri. Hukum dijadikan panglima, bukan kekerasan dan politik yang menjadi panglima. Perubahan paradigmatik harus lahir dari elit pemerintah.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline