Lihat ke Halaman Asli

CJ Amary Kumang

Sedang belajar menulis

Brand Activism dan Customer-Centric

Diperbarui: 7 Februari 2022   15:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Activism. Sumber Ilustrasi: Unsplash.com/@claybanks

Sepertinya sangatlah masuk akal jika tahun 2020 dilabeli sebagai tahun yang merubah banyak hal di dunia. Perilaku masyarakat benar-benar berubah secara mendadak. 

Selain karena terbatasnya interaksi kita dalam beraktivitas guna mengantisipasi menyebarnya Covid-19, tahun 2020 juga menjadi waktu di mana masyarakat (untuk beberapa hal) justru berharap banyak jauh lebih besar kepada sebuah brand untuk menyelesaikan masalah yang lebih kompleks. Ini adalah tahun di mana brand activism menjadi sangat populer dan begitu menyedot atensi.

Saat ini kita mudah menjumpai kampanye sosial yang dilakukan oleh sebuah brand terhadap isu-isu yang tergolong sensitif di media sosial. Media sosial sebagai platform yang bisa menjangkau siapa saja ternyata benar-benar menjadi media yang efektif. 

Mereka tidak lagi ragu untuk lantang menyuarakan keresahan yang mungkin sebenarnya juga dirasakan oleh konsumen dan masyarakat yang secara tidak sadar ingin diwakilkan atau yang memilih untuk menjadi silent majority.

Kesuksesan sebuah brand dalam mengangkat isu ternyata juga berdampak kepada ekspektasi konsumen dalam penyelesaian sebuah masalah. Hasil tingkat kepercayaan yang dirilis Edelman (lembaga riset global tentang merek dan reputasi) menyatakan bahwa masyarakat jauh lebih percaya bahwa brand bisa berbuat lebih banyak dibandingkan yang dilakukan oleh pemerintah. Dari konteks pemasaran, hal ini tentu semakin meningkatkan nama baik sebuah brand dan nama baik tentu akan meningkatkan loyalitas.

Kenapa fenomena brand activism tersebut bisa terjadi? Selain karena adanya kedekatan emosional antara konsumen dan isu yang diangkat, percaya atau tidak, hari ini, konsumen justru jauh lebih powerful daripada penjual. 

Dengan bantuan internet, mereka memiliki begitu banyak pilihan dan kemampuan untuk mengedukasi diri dan memilih apa yang menurut mereka cocok. 

Saat ini, produk bukan hanya sekadar fungsinya, tapi pengalaman (pra pembelian, pemakaian, pasca pembelian) bahkan value (seperti isu yang dikampanyekan brand).

Konsumen saat ini cenderung memilih berdasarkan "keyakinan/belief" akan sebuah "nilai/value" yang ditawarkan sebuah brand dan tidak lagi hanya melihat dari fungsi dasar produk. 

Hasil temuan dari Edelman pada tahun 2018 mengungkapkan bahwa 64% konsumen di seluruh dunia saat ini membeli/memboikot sebuah produk karena keyakinan akan nilai. 

Pada akhirnya, konsumen yang menentukan sendiri apakah dirinya seorang 'loyalis' sebuah produk atau sebaiknya menyebrang ke produk lain. Temuan lainnya mengungkapkan bahwa konsumen cenderung menunjukkan niat membeli setelah melihat komunikasi yang berorientasi pada nilai (43%). 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline