Lihat ke Halaman Asli

Skandal Pajak BCA. Sudah 6 Bulan Kok Belum Ada Tersangka dari BCA?

Diperbarui: 17 Juni 2015   18:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sudah lebih dari setengah tahun penyidikan kasus Pajak BCA digulirkan oleh KPK, hingga hari ini masih belum ada perkembangan. Nasib dari penyidikan kasus ini masih belum jelas. Terhitung sejak 21 April 2014, KPK telah menetapkan satu tersangka dalam kasus ini, Hadi Poernomo, mantan ketua dirjen pajak. Hadi dijerat dengan pasal 2 ayat 1 atau pasal 3 Undang-Undang pemberantasan tindak pidana korupsi karena Hadi telah terbukti menyalahgunakan wewenangnya sebagai ketua dirjen pajak saat meloloskan permohonan keberatan pajak Bank BCA.

Sejak ditetapkannya Hadi sebagai tersangka, kinerja KPK dalam pengusutan kasus pajak BCA terus menerus menuai kritik. Banyak kaum akademisi yang menyayangkan kinerja KPK yang terbilang lambat dalam membongkar kasus ini. Seperti yang diungkapkan oleh Agustinus Pohan, pengamat hukum pidana dari Universitas Parahyangan. Beliau mengatakan "Pasti publik bertanya-tanya, kenapa dalam penanganannya lama untuk kasus besar-besar itu. Nah KPK seharusnya juga menjelaskan kenapa sampai saat ini belum ada kejelasan,". KPK memang telah menjawab mengapa penyidikan kasus ini lambat, menurut Johan Budi SP, KPK kekurangan tenaga penyidik sedangkan status kasus yang belum diselesaikan sangat banyak. Namun hal itu tidak bisa dijadikan alasan untuk tidak menyelesaikan penyidikan. Kalau KPK kekurangan tenaga penyidik, KPK sebaiknya menggandeng pihak lain guna memperlancar penyidikan. Seperti yang disampaikan oleh Dahnil Anzar, pakar hukum Universitas Sultan Ageng Tirtayasa yang mengharapkan agar KPK menggandeng instansi lain untuk melancarkan penyidikan kasus ini. "Kasus di KPK memang banyak, ribuan sedangkan penyidiknya hanya 74 orang. Karena itu perlu desakan dari masyarakat dan publik agar kasus dapat segera dituntaskan,"

Beberapa pihak juga mencurigai keterlibatan BCA dalam proses pelolosan permohonan keberatan pajak BCA. Indonesia Corruption Watch (ICW), peneliti ICW, Firdaus Ilyas mencurigai adanya pertambahan tidak wajar dari harta kekayaan Hadi Poernomo. Beliau mencurigai Hadi telah terima suap karena telah memuluskan permohonan pajak Bank BCA. Sebagaimana yang dikatakan mantan pimpinan KPK, Bibit Samad Riyanto, beliau meyakini meyakini adanya keterlibatan BCA. Menurut beliau tidak mungkin Hadi Poernomo bermain sendiri dalam proses tersebut, terlebih lagi BCA adalah pihak yang diuntungkan dalam kkasus pelanggaran hukum tersebut.

"Kalau HP (Hadi Purnomo) bisa jadi tersangka, kan dia pasti ngga sendirian. Dia melakukan itu bersama-sama orang BCA," demikian ujar Bibit.

Hadi Poernomo dalam kasus pajak BCA terbukti melakukan penyalahgunaan wewenangnya sebagai Dirjen Pajak dengan dengan membuat Surat Keputusan (SK) yang melanggar prosedur terkait permohonan keberatan wajib pajak yang disampaikan oleh pihak Bank BCA. Hadi Poernomo selaku dirjen pajak terbukti memanipulasi telaah direktorat PPH mengenai keberatan SKPN PPH BCA. BCA mengajukan surat keberatan wajib pajak dengan nilai yang cukup fantastis yakni sebesar Rp 5,7 triliun terkait kredit bermasalah-nya atau non performance loan (NLP) kepada direktorat PPH Ditjen Pajak pada 17 Juli 2003.

Setelah ditelaah oleh Direktorat PPH, permohonan keberatan wajib pajak yang diajukan BCA ditolak, namun oleh Hadi Poernomo selaku Dirjen Pajak mengintruksikan Direktur PPH yang semula menolak menjadi menerima seluruh permohonan keberatan wajib pajak yang dilayangkan pihak BCA sehari sebelum masa jatuh tempo pemberian keputusan final.

Oleh putusan Hadi Poernomo tersebut, diyakini BCA telah merugikan negara dengan tidak membayar pajak sebesar Rp 375 miliar.

Selain itu, keputusan Hadi Poernomo mengabulkan permohonan keberatan pajak yang diajukan BCA juga semakin terasa janggal apabila mengingat hal serupa juga dilayangkan Bank Danamon perihal keberatan pajak atas nilai transaksi sebesar Rp 17 triliun tetapi ditolak oleh pengadilan pajak. Anehnya, hal ini serupa namun hasilnya berbeda.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline