Lihat ke Halaman Asli

Ai Maryati Solihah

seorang Ibu dengan dua orang anak

Belajar dari Kasus AU di Pontianak

Diperbarui: 10 April 2019   15:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Ada pepatah lidah tak bertulang. Jika zaman old kata-kata terlihat dalam sekejap mata dengan mata dan raut muka. Pada zaman now tak lagi berarti kata dan raut muka, namun kata terkirim melalui media, kapanpun, dimanapun tidak perlu bertatap muka dan melihat rupa. Celotehan bisa jadi hujatan, kata-kata bisa jadi perundungan dan kalimat-kalimat kebencian bisa jadi peperangan.

Ini sekelumit yang saya tangkap dari awal mula terjadinya pengeroyokkan Au (14 tahun ) oleh diduga 12 anak lainnya  usia anak SMA di Pontianak yang viral dalam 2 hari ini. Sangat terlihat tidak berimbang dari mulai usia bahkan jumlah dalam peristiwa itu, jika dalam istilah yang lebih spesifik, peristiwa ini merupakan bullying dari kelompok yang lebih banyak pada satu orang, dari yang lebih tua kepada yang lebih muda, relasi yang lebih kuat kepada yang lemah, melalui agresivitas secara elektronik yang bertransformasi pada dunia nyata. Perilaku kekerasan menjadi sebuah cara mengekspresikan relasi sosial tersebut hingga menimbulkan korban. 

Dalam teori kenakalan remaja, memang usia remaja merupakan masa pancaroba yang kerap terpengaruh oleh lingkungan. Eksistensi personal, komunal dan kelompok sosial sering kali menjadi pertaruhan walau mengorbankan diri masuk dalam gengster atau kelompok yang sebenarnya tidak perlu dibela. Namun munculnya sikap seperti itu, bagian dari ekspresi fase remaja yang disebut dengan kenakalan remaja. Untuk itu, kasus ini merupakan keprihatinan semua pihak untuk disikapi, diwaspadai, jangan terulang dikemudian hari.

Laporan dari kepolisian, bahwa diduga pelaku 3 orang anak sudah diminta BAP nya, kemudian visum lanjutan selain kekerasan fisik, terdapat kemungkinan kekerasan seksual yang sedang dilakukan penyidik. Semoga semua bisa terbuka dan transparan sebab hal ini akan menjadi pedoman pada bergulirnya proses hukum.

Kita semua merasa prihatin dengan kasus ini, menyesalkan bisa terjadi, semoga korban segera pulih dan mendapat perlindungan dari Pemerintah. Pelajaran penting dari kasus ini, bukan hanya negara memastikan perlindungan pada anak korban secara fisik, psikologis, pendampingan hukum dan reintegrasi sosialnya, namun juga anak pelaku dan saksi mendapatkan proporsi pemeriksaan kepolisian dan punya hak untuk didampingi secara hukum . Mereka masih dalam status pelajar dan haknya belajar. 

Namun proses hukum harus berjalan, dalam hal ini usia dibawah umur bukan alat untuk menoleransi tindakan brutal anak-anak seperti yang diberitakan oleh berbagai media. Katagori ini yang disebut anak berhadapan dengan hukum (ABH), yang penanganannya harus sesuai dengan hukum positif Indonesia yakni sesuai dengan UU No 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana anak, dimana pengaturan anak korban dan anak pelaku serta anak saksi diatur.

Di KPAI data anak berhadapan dengan hukum selalu tertinggi dalam beberapa tahun terakhir. pada Tahun 2018 angkanya mencapai 1434 kasus dengan kasus tertinggi adalah anak korban kekerasan fisik berjumlah 166 kasus dan anak pelaku kekerasan fisik sebanyak 107 orang, sisanya anak yang menjadi korban dan pelaku kekerasan psikis, seksual, pembunuhan, pencurian, kecelakaan lalu lintas, kepemilikan senjata tajam, penculikan dan aborsi.  

Relevansinya dengan kasus ini, Negara harus memiliki perhatian besar pada perlindungan khusus anak di level hilir. Pencegahan yang dimaksudkan untuk menekan supaya anak tidak masuk katagori berkonflik dengan hukum perlu ditingkatkan menjadi agenda-agenda yang masiv pada satuan pak endidikan. 

Pada aspek perlindungan, pengasuhan keluarga menjadi kunci pengawasan orang tua terkait pergaulan anak dengan teman sebaya. Jika pengawasan orang tua berjalan dengan baik, maka akan menemukan sekecil apapun kemungkinan anak an melakukan tindakan-tindakan di luar akal sehatnya. Untuk itu, mengawasi berari memantau dan memahami keberadaan anak-anak walaupun di luar atau dalam pergaulan sosial yang lebih luas.

Pendidikan menggunakan digital, media sosial, membangun literasi media, merupakan kepentingan yang sangat mendesak bagi anak agar mereka mengetahui jenis konten berita, apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan dalam berinteraksi di dunia maya, merupakan langkah yang harus diberikan pemerintah. Dampak penggunaan media untuk bullying dan perundungan akan terus menyeret anak dalam dunia kekerasan . Bukankah mencegah lebih baik dari pada menanganI? cinta buatmu AU semoga lekas sembuh dan pulih, sekolah lagi, ceria lagi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline